Andai saja hari ini hujan itu tiba
Pastilah air mata ini tak terbuang sia-sia
Andai saja hari ini pelangi indah itu ada
Pastilah Aku akan bahagia, menatap disini bersamamu berdua
Pun andai saja malam ini bintang dan rembulan saling bercahaya
Pun pastilah Aku akan tertidur pulas, menahan isak tangis, lalu memelukmu begitu eratnya
Bodohnya Aku, selalu saja bodoh tanpa berpikir akan resiko dan bahaya
Aku terlalu bodoh akan hal ini, tak kuat lagi akan semua cobaan yang menerpa
Aku berusaha menggenggam tangan kanan agar tangan kiri tak menyadarinya
Aku berusaha melangkah maju, berharap agar kaki ini pun terbiasa
Aku berusaha tertawa, ceria, berharap agar hati ini tertipu bahwa keadaanku baik-baik saja
Dan ...
Aku terlalu bodoh, lalu menyesal saat melihat dan menatap matanya
Menyesal, karena bodohnya dahulu ia pernah mengenalku lalu mengikat menjadi "Kita"
"Nak, apa cita-citamu saat kamu besar nanti?" ia memulai bertanya.
"Hmm ... Apa yah..?? Aku bingung." jawabku sambil menggaruk-garukkan kepala.
"Kamu tidak tertarik untuk menjadi seperti ibumu?" tanyanya sekali lagi.
"Gak ah, pucing. Haikal aja akut cama jayum cuntik." celutusku.
Saat itu Aku baru saja menginjakkan usia yang ke-4 tahun. Dan Kami berdua sedang asyiknya bermain berdua, berbincang biasa layaknya hubungan antar dua insan yang saling menyayangi.
"Loh, hari ini mungkin Haikal takut sama jarum suntik, tapi tidak jika Haikal saat dewasa nanti." hiburnya saat ia mendengarkanku berkata 'tidak'.
"Apa benar itu? Apa Haikal nanti gak akut lagi cama jayum cuntik caat Haikal jadi olang dewaca?" tanyaku lugu.
"Iya. Nanti saat dewasa, Haikal dan Kak Ali tak akan takut apapun lagi. Termasuk itu jarum suntik." jelasnya dengan tersenyum.
"Iya Ayah, nanti Haikal akan jadi cepelti Ibu, jadi doktel yang hebat! Haikal janji Ayah ..!!" jawabku penuh semangat. Lalu setelah itu, ia pun segera memelukku, erat sekali. Ya, erat hingga Aku benar-benar merindukan pelukan itu. Sangat merindukannya ...
***
"Ayah, ayaahhh ..!!" teriakku memanggilnya.
"Ayah dimana, Ayaahhh ..??" teriakku lagi.
Dimana ini? Lebih tepatnya Aku sedang berada dimana? Ruang ini sangat gelap disetiap titiknya, tak dapat melihat apapun. Terus melangkah maju, berharap menemukan pintu ataupun jalan keluar dan apapun itu. Tak ada cahaya sedikitpun. Di manakah Aku berada saat ini?
"Haikaallll ..!?" tiba-tiba terdengar suara orang lain yang memanggil-manggil namaku.
Aku ingat kejadian ini. Ya, gelap seperti ini juga. Saat tak ada cahaya sedikitpun yang terlintas oleh mata. Tak ada suara sedikitpun yang membisingkan telinga. Gelap dan hening.
"Haikal, Kau harus bangun, Nak ..!!" teriaknya dari ujung sana.
Aku berusaha mencari-cari darimana sumber suara itu berada. Melihat kiri-kanan, depan-belakang, namun hasilnya tetap saja. Suara itu sangat mengganggu. Kenapa? Kenapa ia hanya bersuara tanpa memperlihatkan siapa wujudnya! Siapa Kamu!? Darimana Kamu!? Itu saja, ia benar-benar mengganggu.
Aku menyerah, berhenti diantara gelap yang saling menyelimuti. Tak ada cahaya, tak ada jalan. Buntu!
Brruugghhhh ..!! suara itu tiba-tiba muncul, keras sekali hingga membisingkan telingaku di sebelah kanannya.
"Bangun, Nak ..!! Bangun ..!! Kau harus bangun sekarang, Nak ..!! Kau harus ... bangunnn ..!!!" suara itu mengagetkanku, suara itu dekat sekali.
***
"Ayah, bolehkah Aku bertanya sesuatu?" tanyaku kepadanya
Indah sekali, senja di ufuk barat tepi pantai Kuta itu sangatlah indah. Jarang sekali kami menikmati momen seperti ini. Saat itu kami sekeluarga sedang berliburan di Bali. Ayah, Ibu, Kak Ali dan Aku. Saat itu kami berempat sedang merayakan hari pengangkatan Ayah di kesatuan kepolisian Kota Bandung. Ayah mendapatkan posisi yang didamba-dambakannya, menjadi Kepala Bareskrim Kota Bandung. Lantas, sebuah kebanggaan kami terhadapnya yang mempunyai seorang Ayah yang tangguh dan kuat, dan juga pahlawan pemberantas kriminal. Hebat, bukan ..!?
"Kamu mau menayakan apa, Nak?" jawabnya sambil melirik kearahku.
"Berjanji Ayah takkan marah jika Aku bertanya soal ini?" Aku meliriknya serius bertanya-tanya akan apa yang terjadi jika Aku meneruskan pertanyaan ini.
"Iya, Ayah berjanji." jawabnya tegas.
"Baiklah, Ayah ... Ehmm ... Jujur, Haikal tak mau jadi dokter seperti Ibu. Haikal sangat takut, Haikal masih saja takut perihal jarum suntik, luka apalagi darah." jawabku canggung.
"Hahaha ... Astaga nak, Ayah kira Kamu akan menanyakan hal-hal yang berat. Perihal apa cita-citamu nanti, Kamu bebas memilihnya. Jika Kamu memang tak suka seperti Ibu, Yasudah, apapun itu akan Ayah dukung Kamu asalkan itu merupakan cita-cita yang baik." ia pun tersenyum padaku, mengedipkan matanya, lalu mengusap-ngusapkan rambutku hingga benar-benar berantakan.
"Aku ingin menjadi seperti Ayah!" jawabku tiba-tiba.
"Oh ya? Bagus dong. Kamu akan menjadi polisi yang hebat, bahkan lebih hebat daripada Ayah. Yakinlah nak! Kamu pasti bisa!!" jawabnya seraya memberikan semangat kepadaku.
Saat itu usiaku masih berumur 8 tahun dan anehnya Aku telah berpikir dan berencana perihal cita-cita. Memanglah aneh. Biasanya anak-anak seumuran itu masih berpikir perihal canda-tawa, mobil-mobilan, film kartun dan sebagainya. Sedangkan Aku telah melangkah terlalu jauh akan hal itu.
Namun, cita-cita lama itu pun memudar, lenyap dimakan api. Aku berusaha tegar, berusaha menenangkan mereka, namun sama saja, Aku pun juga tak kuat menahan isak tangis yang teramat dalam. Sejak kematian Kak Ali, Aku merasa terpuruk, merasa hancur dan sendiri. Tak ada lagi teman untuk saling bertukar canda-tawa, tak ada lagi sosok pahlawan yang menolongku saat Aku sedang dijahilin oleh teman-temanku di sekolah. Tak ada lagi, tak ada lagi!! Kak Ali telah pergi, pergi untuk selamanya. Cita-cita menjadi Polisi hebat, mengenakan seragam cokelat, dan memakai topi khasnya yang didambakan itu retak, kenangannya telah remuk di dalam hati. Sudah remuk ...
***
Kembali lagi ke ruang gelap itu. Masih saja gelap ...
Tiba-tiba sesosok bayangan itu pun terlihat, maju menujuku.
Tok, tok, tok ... suara sepatunya yang terdengar begitu keras.
"Haikal ..??" serunya lembut.
"Siapa Kamu!?" kali ini Aku benar-benar merasa takut, melihat bayangan yang tak kukenali yang menuju ke arahku.
Bayangan itupun lambat laun terlihat siapa orang tersebut. Berawal dari kaki, badan, lalu wajahnya.
"Ayahhh ..??" tanyaku cemas untuk meyakinkan apa yang sedang kulihat.
"Kemana saja Kau selama ini Ayah!? Kemana saja!?" Aku pergi menuju ke arahnya, lalu memeluknya begitu erat.
"Kemana saja Kau!? Kemana saja Kau selama ini, Yah!?" memukulnya pelan dengan isak tangis haru.
"Nak ... Ayah kembali, Ayah di sini ... Kamu tak perlu takut lagi ..." jawabnya lembut.
"Aa-Aku sangat takut, Yah ... Sangat takut ..." pelukku semakin erat.
"Hmm ..." ia pun menggosok-gosokkan punggungku dengan tangannya.
"Baik, sudahlah, Nak. Kamu harus kuat, Kamu harus melindungi Ibumu dan melindungi teman-temanmu. Kamu belum sepatutnya berada di sini, belum, Nak! Perjalananmu masih panjang." jelasnya sambil terus memelukku.
Ia pun segera melepaskan pelukanku, lalu menatapku tajam, "Bangunlah, Nak ... Bangun ..!!"
***
"Kaalll ..!! Haikaalll ..!??" suara itu terdengar samar di balik ruang itu, lalu Aku pun terbangun ...
"Kak Gina??" tanyaku bingung yang sedang setengah sadar.
"Bangung, Kal ..!! Kau harus bangun segera ..!!" ia pun mencoba menolak kenyataan akan takdir yang baru saja terjadi.
Aku membuka mata, mencoba menyadarkan kembali mata ini. "Astagaaa ..!! Apa yang telah terjadi ..!?" tanyaku terkejut.
Kulihat gedung-gedung ini mengeluarkan kobaran api. Begitu juga terdengar suara bising hembusan peluru, banyak sekali. Aku berusaha bangkit dan tak sengaja melihat Pria besar itu. Kulihat ia telah tak berdaya, badannya berlumuran darah dan begitupun kepalanya, bolong terhempas peluru panas.
Aku berusaha bertanya dengannya, tapi ia pun menyuruhku agar bergegas sesegera mungkin. Suara tembakan itu terdengar sangat berisik. Aku benar-benar tak tahu apa yang terjadi dan apa yang sebelumnya terjadi.
"Kak ..!?" tanyaku sekali lagi.
"Sudahlah, Kal! Sekarang ayo kita pergi dari sini." jawabnya tegas.
Hampir setengah berdiri, Aku pun teringat sesuatu. Ririn! Di manakah Ririn sekarang berada.!? Aku berusaha melihat-lihat sekelilingnya, namun tetap saja tak ada petunjuk yang didapatkan.
"Kamu sedang mencari Ririn!? Ayolah, Haikal! Ririn aman, Dia menunggumu di depan sana!" jelasnya sambil menarikku untuk segera berdiri.
"Baiklah, Kak!" jawabku singkat.
Setelah kami keluar dari pintu ruangan itu, akhirnya Aku pun melihatnya. Segera ku peluk erat dirinya sambil meneteskan air mata.
"Ma-Maafkan Aku, Rinn ..." kataku kepadanya sambil tak luput melepastkan pelukanku
"Iya, Kal. Terimakasih yah Kamu sudah berjuang sejauh ini." balasnya sambil tersenyum.
Aku pun ikut tersenyum, senang sekali akhirnya bertemunya lagi, walau dengan keadaan seperti saat ini. Tapi. Beberapa saat Aku melamun akan suatu hal, akhirnya Aku pun sadar apa yang telah terjadi. Saat detik-detik itu akan berlangsung. Sebuah pistol silver milik Pria besar itu menodongkan tepat kearah keningku. Ia marah karena pertanyaannya perihal sebuah barang yang telah diambil oleh Ayah tak kunjung Aku jawab. Ia merasa kesal, lalu setelah ia menodongkan pistolnya, terdengarlah suara dentuman amat keras. Lebih tepatnya sebuah ledakan besar.
"Aku tahu!!" pikirku mulai sadar.
"Sebuah granat meledak hampir didekatku, hingga Aku tercampak sedikit jauh dari tempat semula dan setelah itu Aku tak ingat apapun lagi." pikiranku mulai menyadarkanku akan hal itu.
"Terimakasih, Kak ..." ucapku kepada Kak Gina.
"Sudahlah, sudah kewajiban Saya akan hal itu. Lebih baik kita bergegar turun menuju halaman, okey.?" jawabnya lugas.
Kami pun bergegas turun menuju lantai bawah. Banyak sekali gerombolan dari mereka. Tampak didepan sana mereka terus menumpahkan pelurunya ke arah kami, lantas kami segera merunduk dan bersembunyi diantara barel-barel kosong. Disaat yang tepat, Kak Gina pun keluar, lalu menembak ke arah mereka.
Dduuarrrr ..!! tembakan itu menembus tepat di dadanya.
"Nice Shoot ..!!" ucapku sambil mengacungkan jempol kepadanya.
Kami pun terus menyusuri jalan dan anak tangga. Begitupun dengan Kak Gina, ia selalu saja melindungi kami dengan peluru-pelurunya. Satu, dua, tiga dan seterusnya mereka pun berguguran. Namun kali ini keberuntungan sedang tidak memihak kami. Lantai yang kami pijak saat ini kondisinya sangat rapuh sekali, hingga Ririn pun tergelincir dan jatuh ke bawah.
Bbrruugghhh ..!! suara itu terdengar keras.
Lantas Aku pun segera turun ke lantai bawah sedangkan Kak Gina melindungiku saat melangkah dan terus berjalan.
Dari kejauhan, Aku melihatnya diujung sana. Ia sedang terduduk, sepertinya sedang merasa kesakitan.
"Rin, tu-tunggu Aku di sana ..!!" ucapku terbata-bata untuk meyakinkannya.
Aku berlari, berusaha berlari secepat mungkin. Tiba-tiba Aku terdiam saat ...
Dduuaarrrr ..!! tembakan itu menembus bahu kirinya.
"Riinnn!! Ririinnnn ..!!" Teriakku kencang.
"Aku pun segera berlari ke arahnya sambil menembak Pria besar brengsek itu. Berkali-kali kutembak, akhirnya tembakan yang kelima pun berhasil menembus kepala Pria besar itu. Hingga Aku berhasil dan memeluknya.
"Rin, sadarlah, Rin ..!! Sadar, Rin ..!!" teriakku sambil menahan tangis.
"Kaa-Kaalll ..??" ucapnya lemas.
"Iii-Iyaaa, Rinn ... Aku di sini, Aku di sini bersamamu ..." balasku mencoba meyakinkannya.
"Te-Terimakasih untuk usahamu sejauh ini terhadapku. Aaa-Aaku sadar bahwa selama ini Aku yang salah, maafkanlah Aku ..."
"Tidak, Rin. Tidakkk ..!! Tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar. Keadaannya memang memaksa kita untuk akan hal itu."
"Tii-Tiidak, Kal. Akulah yang salah. Selama ini Aku selalu saja terbayang-bayang akan dirimu. Coba saja Aku saat itu tak tersulut emosi, coba saja Aa .. Aku memaafkan diriku sendiri ..." Dia berusaha untuk melanjutkan penjelasannya.
"Aku mau mendengarkanmu jika Kamu memaafkanku untuk semua kejadian dimasa lalu, Haikal ..." ia terus berbicara.
"Baa-Baiklah ... Kamu benar. Kamu salah. Kamu bodoh. Kaa .. Kamu kenapa meninggalkanku selama ini, kenapa Rin ..!?" jawabku yang tak bisa lagi menahan tangisan ini.
"Syukurlah. Sekarang Aku sudah tenang. Tak ada lagi pertanyaan-pertanyaan masa lalu itu yang menghantuiku, Aku sudah tenang sekarang, Kal ... Selamat tinggal, Cinta ..." jawabnya sambil tersenyum.
Setelah tidak berapa lama ia mengucapkan kata 'selamat tinggal', ia pun meneteskan air matanya untuk terakhir kali, lalu terpejam untuk selama-lamanya. Ia sudah pergi, ia sudah tiada. Ririn telah meninggal dengan melepaskan keresahannya dimasa lalu. Ia pergi dengan tersenyum namun tidak denganku, Aku menangis sejadi-jadinya akan kepergiannya. "Mengaapppaaa ..!! Mengapaa Kau pergi, Riiinnnn ...!!!" teriakku sekencang-kencangnya.
Aku menangis, tak tahu lagi apa yang harus kuperbuat. Dan dibelakangku tiba-tiba ada seseorang yang sedang mengusap-ngusap rambut kepalaku.
"Oh Tuhan, mengapa ini terjadi?" Kak Gina pun ikut menangis.
Di akhir cerita kami pun keluar, melangkah menuju halaman nan luas diluar sana. Api pun terus melahap dengan ganas, membakar setiap sudut-sudut ruang Gedung Tua itu. Di luar sana terlihat ada Dana, Krisna dan rekan-rekannya Kak Gina. Mereka tersenyum melihat kami. Aku, Kak Gina dan tentu saja Rina, namun hanya saja ia berbeda dengan kami. Dana dan Krisna segera menuju ke arahku, memeluk kami bertiga dengan eratnya, lalu terkejut ketika mengetahui Ririn telah tiada. Sama saja, semua manusia akan menangis ketika ia telah kehilangan orang yang mereka cintai. Dan kami telah kehilanganmu. Yah, itu adalah Kamu, Ririn Putri Awaliyah.
~Selamat Tinggal Cinta ...
To be Continue...
"Selamat, Nak ... Kamu sudah tumbuh menjadi laki-laki dewasa, mirip seperti Ayahmu. Ibu bangga, sangat bangga denganmu melebihi apapun itu ..." ucapnya sambil memelukku erat, sebuah ikatan cinta dari seorang Ibu dan Anak. Aku mencintaimu, sangat mencintaimu ibu ...
To be Continue...
"Selamat, Nak ... Kamu sudah tumbuh menjadi laki-laki dewasa, mirip seperti Ayahmu. Ibu bangga, sangat bangga denganmu melebihi apapun itu ..." ucapnya sambil memelukku erat, sebuah ikatan cinta dari seorang Ibu dan Anak. Aku mencintaimu, sangat mencintaimu ibu ...


No comments:
Post a Comment