Hujan... Kurindu Dia... - Teman Pena

"MENJADI MANUSIA YANG BERGUNA ANTAR SESAMA DAN MATI DALAM KHUSNUL KHATIMAH"

Penulis itu

  • Muda
  • Kreatif
  • Berwawasan
  • Amazing!

Hot

Post Top Ad

Your Ad Spot

Sunday, April 15, 2018

Hujan... Kurindu Dia...




Hujan...
Hujan...
Engkau laksana raja yang turun diperkampungan yang kusam
Dan engkau laksana binatang buas yang siap menerkam mangsanya kapan saja
Hujan...
Begitu banyak orang yang mengharapkanmu
Dan begitu banyak pula orang yang menghujatmu
Hujan... 
kau turun setelah kemarau panjang. Bukankah kesabaran adalah kuncinya? 
Meski engkau jatuh berkali-kali, engkau tak kan pernah menyerah
Hujan...
Ku ingin sepertimu yang tak pernah lelah memberikan kebahagian kepada siapapun yang kau beri

         Begitu menghayatnya aku melihat rintikan-rintikan hujan yang turun dan menghantam begitu derasnya di jendela kaca kereta hingga membuat semua penglihatan bias seketika. Perkenalkan nama aku Raino Albarokah yang diambil dari kata Rain dan Barokah yang artinya hujan yang penuh keberkahan. Yah, kata ayah dan ibuku mereka mengambil kata hujan dikarenakan pada saat itu, disaat detik-detik kelahiranku hujan turun begitu lebatnya hingga menyamarkan suara teriakan tangisku saat aku lahir., dan sebab lain mengapa aku dinamakan Raino. 

          Sekarang umurku 19 tahun, dan kini aku sedang berada di kerata api dimana dalam perjalanan dari Malang ke Yogyakarta karena aku baru saja lulus tes seleksi di salah satu kampus terfavorit disana, Universitas Gajah Mada jurusan Ilmu Hukum yang katanya sih jurusan terfavorit disana, tapi yang pasti sudah lama aku tertarik untuk memperdalami hukum baik di Indonesia maupun di luar Indonesia dan menghakimi orang yang benar-benar bersalah tanpa memandang siapapun dia.. Tak terasa perjalanan yang sangat melelahkan itu telah usai, tubuh ini rasanya tidak tahu lagi, lelah dan sangat lelah. Perjalanan yang menghabiskan waktu sekitar 8 jam membuat mata ini mulai mengantuk, tapi perjalanan ini belum berakhir masih banyak cerita yang akan dilalui.

           Tepat pukul 17.00 wib aku telah sampai di wilayah kampus ini. Perjalanan dari stasiun ke kampus kurang lebih menghabiskan waktu satu jam dan itu mungkin cukup cepat karena jalanan belum terlalu ramai. "Wowww...!!", Luar biasa, akhirnya aku bisa menatap dan merasakan langsung kemegahan dan keindahan kampus yang katanya pencetak generasi Indonesia yang luar biasa, dan disini juga awal langkah ku tuk menggapai seluruh angan-anganku selama ini, "Dunia, lihatlah dan pandangilah aku bahwa tak lama lagi aku kan menggenggammu, ya takkan lama lagi", ucapku dalam hati.

           Usai melihat-lihat kampus baruku ini, lantas aku melanjutkan ke rumah Bibi. Ya disinilah aku akan menginap dan tinggal, dirumah yang sederhana namun lumayan bagus jika untuk standar rumah biasa. Bibi adalah kakak dari Ibuku yang rupanya sangatlah mirip. Mereka berdua memang terlahir kembar sampai-sampai aku dibuatnya sedikit pangling, wajar saja terakhir aku bertemu dengan dia saat umurku tiga tahun, itupun aku tahu dari cerita orang tua ku sedangkan akupun tak tahu kebenaran dari cerita tersebut.

             "Assalamu'alaikum Bibi..!!".

          "Wa'alaikumsalam, waahhh..!! Raiino..!! Wahhh... Udah besar ya kamu, gak nyangka Bibi badanmu segede ini sekarang, dulu waktu Bibi ketemu kamu badanmu kecil banget mana lagi kurus, hehe...", balasnya dengan suara yang sedikit berat dan langsung memelukku begitu eratnya.

            "Hehe, iya bi.", balasku singkat.

            "Ayoo masuk-masuk, pasti kamu sangat lelah bukan? kamu mandi dulu biar Bibi buatin kamu teh anget, oh ya Pamanmu lagi keluar dan Aisyah belum pulang dari les, jadi yah gini suasana rumah masih sepi, hehe...", tawanya yang mencoba membuat suasana menjadi lebih akrab dan nyaman.

           Oh ya, dirumah Bibi hanya tinggal tiga orang, Paman, Bibi dan Aisyah. Aisyah adalah anak tunggal mereka, kira-kira antara aku dan Aisyah berbeda tiga tahun dibawahku. Sebelumnya aku sendiri belum pernah bertemunya, tapi saat aku melihat foto-fotonya mungkin hampir persis sama ibuku saat muda dulu, cantik, putih dan tinggi.

          Tanpa disuruh dua kali aku pun langsung masuk rumahnya dan menuju kamar yang telah disediakannya beberapa hari yang lalu, dan tanpa berpikir panjang badan ini langsung kurobohkan ketempat singgasana yang telah lama menunggu kehadiranku, dan rasanya begitu nikmat, nikmat, nikmat sekali hingga mataku tak tertahankan lagi tuk menutupkan kelopak mata ini dan mengakhiri petualangku hari ini, ya untuk hari ini saja.

***

            Suara ayam tak henti-hentinya berkokok dan kicauan burung tak hentinya berbunyi. Seketika aku bangun dari pulasnya tidurku kemarin, dan badanku hari ini agak lumayan lebih bugar dari sebelumnya, gimana gak kurang lebih sepuluh jam aku habiskan waktu ini untuk perjalanan. Bau wangi merangsang indra penciumanku, wangi, wangi sekali. Lantas saat itupun aku langsung berdiri dan mengintip dari dalam apa yang dilakukan Bibi dan Paman disana, atau apakah Bibi sedang masak?, pikirku dalam hati sambil menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi diluar sana.

           Daripada penasaran mending aku keluar dan melihat apa yang sebenarnya diluar sana, pikirku. Saat aku keluar kamar, tak terlihat siapa-siapa, tampak rumah sangat sepi, dan kucoba menuju teras depan mungkin mereka sedang berkumpul-kumpul atau hanya bersantai sejenak melepas penat selama berhari-hari disana, dan lagi-lagi tidak ada siapapun diluar sana.

        Aku mendengus sebal sambil melirik jam ditangan kananku. Yah... Memang aku biasa menggunakannya disebelah kanan. Lantas tiba-tiba ada yang mengagetkanku dari belakang, serentak aku pun langsung melepaskan pukulan mautku ke seseorang yang membuatku kaget, dan lagi-lagi membuatku kaget kedua kalinya.

           "Astaga, Aisyah...!! Nyaris saja bakal aku pukul kamu tadi.!!", kataku sebal sambil bernada tinggi.

            "Hahaha... Ya ampun kak Raino ternyata gampang kagetan yah orangnya. Haha.. maaf-maaf deh kalo gitu, namanya juga hari pertama, yaaa harus dikerjain kayak gini. hihi".

            Mendengar kata-katanya barusan aku merasa menyesal menghentikan pukulan mautku tadi, sekarang seperti menjadi korban jahilan bocah ingusan seperti dia. Tapi ntah kenapa saat melihat dia tertawa riang sambil tersenyum penuh buasnya aku merasa ada yang aneh terhadap diriku, rasanya aneh saja seperti bukan biasanya. Dan tiba-tiba jantungku berdetak tak biasanya atau ini merupakan hal yang wajar, soalnya baru pertama kali juga aku berjumpa dengannya dan melihat langsung.

          "Oh ya Aisyah, Bibi dan Paman kemana ya? Bukannya ini hari minggu dan bukannya seharusnya mereka bersantai atau tidak duduk-duduk disini?"

             "Hm... Tadi pagi-pagi banget Ayah sama Ibu pergi keluar rumah kak, dan hm... Aku juga nggak tahu, hehe..."

           "Aduhhh... Yaaa Tuhan ingin sekali rasanya aku menonjok bocah ini, masa orang tuanya sendiri pergi kemana gak tahu gitu, miris sekali aku pagi ini.", sebalku dalam hati.

             "Hm.. yaudah deh, terima kasih ya informasinya yaa.. Semoga informasi yang kamu beri ini sangat berguna nantinya.", aku meledeknya sambil langsung menuju ke kamar lagi meninggalkan dia sendiri.

             Mungkin kata-kataku tadi bisa membuat dia sedikit tersinggung atau yang lebih parah lagi dia tak mau menegurku lagi, tapi bodo amat rasanya dia tidak terlalu penting dalam urusanku nanti kedepannya. Sebelumnya memang aku dalam urusan pergaulan bisa dibilang sedikit kurang, watakku yang mudah pemarah, dan lebih gemar sendiri daripada berkumpul bersama orang lain membuat aku menjadi pribadi yang tak bersahabat bagi lingkungan, dan lebih parah lagi aku selalu cuek terhadap masalah orang lain, tapi jika kalian membutuhkan orang yang berkomitmen dan bisa diandalkan dalam urusan diskusi atau olahraga, maka tak salah kalian memilihku sebagai peran utamanya.

              Pagi ini sebenarnya ada agenda di kampus baruku, yah mungkin agenda awal masuk kampus seperti kenal mengenal atau acara-acara receh seperti nyanyi-nyanyi yang tak jelas itu. Tapi mau gak mau agenda itu harus kudatangi, kalau tidak mungkin akan berdampak pada masa ospek nanti, kemungkinan terburuknya jika aku tak datang dijeburin ke kolam sana atau berjemur di lapangan luas saat matahari sedang panasnya seperti MOS waktu pertama kali aku masuk SMA yang saat itu aku sempat memukul salah satu panitia sok berkuasa disana.
              
              Pukul 09.00 aku sudah tiba disana. Ramai sekali disini, semuanya dikumpulkan menjadi satu tempat. Saat ini cuaca sedang bagus, tak ada sedikit goresan pada langit biru yang membentang luas dan tak ada rintik-rintik hujan yang selama ini aku gemar memandanginya

             Langit biru..??
             Apakah kau mendengar jeritan hatiku selama ini..??
             Apakah kau mendengar jeritan batinku selama ini..??
             Apakah kau akan selalu secerah ini, selamanya..??
             Apakah tak ada Hujan yang mendatangimu..??
             Aku rindu Hujan, aku rindu Langit Biru, dan aku juga rindu Pelangi..
             Langit Biru, apakah kau mendengar jeritan hatiku selama ini..??

            Tak sengaja aku membaca tulisan di buku diariku dulu. Hm.. Aku sangat ingat kondisi saat itu, kondisi saat-saat paling terpuruk yang pernah kualami, disaat ibuku meninggal setelah beberapa hari ayahku menggugat cerai ibuku. Memang saat hari-hari itu Ibuku selalu terlihat sangat lemah, sakit dan berbaring diatas kasur. Saat itu aku masih kelas dua SMA dan kakak perempuanku baru saja tamat kuliah. Bukan hanya aku yang sangat kehilangan dan merasa tak ada artinya lagi hidup ini, namun juga kakak perempuanku merasakan demikian. Tapi hidup ini terus berlanjut bukan..?? Dan bagaimanapun kondisinya hidup ini harus tetaplah berlanjut, hingga sekarang saat aku duduk diatas kursi sambil mendengarkan ceramah dari Ketua Panitia yang kuanggap tak berarti ini.

                 "Ssstttttt.... Hey..!! Hellooo..!! Heyyy..!!"

          Aku mengernyitkan bibir, menatap bingung salah satu perempuan disebelahku, menganggapnya aneh ntah apalah sebutannya.

             "Ya..?? Kenapa..?? Ada yang anehkah..?? Kalo tidak tak usah ribut-ribut disini", balasku ketus kepadanya.

             Seketika mendengar jawaban ketusku tadi wajahnya terlihat merah padam, dan terlihat sedikit sebal.

              "Yaelah, jutek amat jadi orang. Jangan sok jual mahal deh. Nih kenalin gua Dinda Putri Lestari, Lu bisa panggil gua Dinda, Putri, atau gak Lestari, selebih itu gak boleh. Lu pahamkan..??"

              Aku menatap penuh keanehan, sumpah perempuan satu ini sepertinya sedang kemasukan setan wewe gombel atau kuntilanak kali ya..?? Memang siapa juga yang mau kenalan sama dia, dan kenapa juga dia yang ngatur panggilannya, ya suka-suka orang yang manggilnya lah.

               "Wooiiii...!! Lu denger gak sih gua bilang tadi, lu bisa panggil gua Dinda, Putri atau Lestari. Okeyyy..!!"

              "Hey..!! kamu bisa diam gak, ini ada orang yang bicara didepan, aku gak mau ada kekacauan hari pertama ini. Dan buat nama panggilanmu, tenang saja aku tak bakal memanggilmu. Oke..!! Apakah kamu paham..??", balasku ketus dengannya.

              "Yaelah, jutek amat jadi cowok, baru pertama kali ini gua ketemu cowok kayak lu nih."

              (hening beberapa saat..)

              "Hey, namamu siapa emangnya..??", dia kembali bertanya.

              Aku hanya tetap diam dan tak mengacuhkannya, sama sekali.

              Acara itupun bubar dan diakhiri dengan pembagian kelompok, dan lagi-lagi kesialan hari ini terulang lagi. Perempuan yang duduk disebelahku tadi ternyata satu kelompok denganku dan sepertinya dia sangat senang sekali serta bakal banyak waktu untuknya mengangguku.

*** 

           Esoknya kami berkumpul lagi, ditempat yang berbeda dari hari kemarin. Kelompok kami berkumpul di pinggiran danau. Suasananya memang asik buat duduk-duduk dan melamun sesaat disini, tempatnya dingin, teduh dan sunyi. Ibu, lihatlah aku saat ini, aku sedikit lagi kan berhasil menggapai sepertiga mimpiku Ibu, ya sedikit lagi.

               "Hellooo, yaahhh ketemu lagi kita yaa.. Atau barangkali kita jodoh ya..?? Hehe.."

           "Eh, diem aja lu dari kemarin, ngomong sedikit kenapa..?? Kok ada ya manusia sejutek ini..??", kesalnya.

             Untung saja ketua mentor kami langsung menegur Dinda yang saat itu masih saja menegurku tanpa kupedulikan, dan dia sentak terdiam mematung dan saat itu tak ada keluar kata-kata berisik dari mulutnya, hanya melirik-lirik jahil dan senyum-senyum yang tak jelas.

           Saat itu kelompok kami terdiri dari orang sepuluh, tiga orang laki-laki dan sisanya perempuan, dan yang paling menyebalkan aku ditunjuk oleh ketua mentor menjadi ketua kelompok atas usulan perempuan yang nyebelin itu yang sok berkata bijak didepan ketua mentor dan anak-anak kelompok. Dan dari sanalah komunikasiku mulai terbuka kepadanya karena harus mau tak mau menjadi ketua kelompok, hingga beberapa tahun kemudian muncullah perasaan aneh itu kepadanya, perasaan yang sama sekali belum pernah kurasakan.

***

            Saat ini aku telah beranjak kesemester akhir dan hampir menamatkan kuliahku. Hidupku juga semakin lama semakin membaik. Kondisi kakak perempuanku pun sama sepertiku. Empat bulan yang lalu ia baru saja menikah dengan seorang pria asli Jakarta Pusat, teman sekantornya disana dan entah bagaimana bisa muncul rasa cinta dari kedua insan tersebut. Begitu juga kondisi Bibi dan Paman, mereka semakin membaik dan saat ini Aisyah baru saja mendapatkan adik barunya yang kebetulan mendapatkan dua adik kembar laki-laki sekaligus, dan lagi-lagi akupun tak tahu bagaiman kejadiannya bisa begitu. Selaras juga dengan hidupku, aku pun tak lagi membebani keluarga mereka. Saat memasuki semester tiga aku mendapatkan beasiswa full sampai lulus dan ditambah lagi mendapatkan uang saku per semester, dan bukan itu saja aku dan Dinda semakin lama semakin akrab. Sebenarnya aku sangat salah menilainya saat pertama kali bertemu, menganggapnya perempuan yang aneh, sok gaul, dan menyebalkan. Namun ternyata jika kita menyelam semakin dalam lautan samudera maka kita bakal lebih mengetahui betapa indahnya ciptaan-Nya.

           Pagi ini semuanya baik, berjalan lancar sesuai rencana. Sebelumnya kemarin aku baru saja menyelesaikan skripsiku dua ribu lima ratus halaman dan itu benar-benar tebal, sangatlah tebal. Dan hari ini adalah hari pentingku, hari ini adalah hari pembuktian janjiku kepada Ibu saat dulu. Janji mimpi-mimpiku kepadanya, kepada kakak perempuanku, janji kepada Paman dan Bibiku, janji kepada Aisyah dan dua orang adiknya, dan janjiku kepada dia, kepada Dinda yang saat ini terasa spesial didalam hidupku. Itulah hari sidang kelulusanku yang pertama kalinya. Dan pukul 10.00 sidang itupun dimulai...

***

              Enam tahun yang lalu...

             Saat suasana sedang hujan, sangat dingin dan syahdu sekali. Aku saat itu berusia lima belas tahun, dan telah beranjak ke kelas dua SMA serta kakak perempuanku telah berusia dua puluh tahun. Saat malam itu aku bercerita kepada Ibu berdua saja, hanya berdua saja.

             "Ibu... Ibu mau aku jadi apa Ibu..?? Polisikah..?? Dokterkah..?? Pebisniskah..?? Atau menjadi Ahli Hukum yang bisa membela kebenaran dan menjerumuskan kesalahan..??"

          "Terserah kamu aja Raino. Memangnya kamu maunya jadi apa..??" balas Ibu yang begitu menenangkan.

          "Hm... Entahlah Bu, aku juga bingung mau jadi apa, aku tak tahu Bu. Saat ini yang aku pikirkan hanyalah kebahagian Ibu. Aku mau Ibu kembali tersenyum dan selalu ceria seperti dulu."

              Seketika itu Ibuku langsung memelukku erat, hangat dan sangatlah hangat pelukannya. Saat itu memang keluarga kami mulai runtuh sedikit-demi sedikit. Ayahku setiap pulang kerja selalu memarahi kami, membentak kami hingga tak segan pun menampar wajah Ibu yang sangat terlihat lemah. Aku sempat marah kepada dunia, mengapa Ibu dipertemukan orang seperti dia, kenapa bukan orang lain saja..?? Dan kalian tahu, saat itulah pelukan terakhirnya hingga ia meninggal saat beberapa minggu setelah pelukan itu. Aku merindukan pelukan hangat itu Ibu... Sangat... Sangat kurindukan...

***

  
               "Baiklah, Skripsimu bagus dan kau layak lulus tahun ini..!!"
             
               "Tok..!! Tok..!! Tok..!!", ketukan tiga kali palu itu merubah semuanya.

             Sentak aku langsung sujud syukur dan memeluk dosen pembimbingku serta semua dosen pengujiku disana. Semua terlihat haru, melihatku sangat senang apalagi aku meraih predikat mahasiswa "Cum Laude" dari universitas, sungguh bangga rasanya.

            Ketika aku keluar dari ruang sidang itu langsung disambut pelukan kakak perempuanku, sangat hangat sekali. Bergantian setiap orang memelukku dan memberiku selamat termasuk teman dan adik angkatanku dan termasuk dia, Dinda...

***

               Satu bulan berikutnya...

              Aku menuliskan chat kepada Dinda untuk dapat berjumpa saat sore hari di pinggiran danau, tempat biasa kami berkumpul berdua sambil berbagi berbagai cerita masing-masing.

Aku    : Hai Dinda.. Oh ya, sore ni kamu ada agenda gak? kalo gak ada mau ketemuan di pinggiran
             danau kampus? Ada yang mau kukatan padamu Din.
Dinda : Halloo mahasiswa Cum Laude... Hehe.. emang kenapa? kangen ya? hihi... Gak ada kok, jadi
             oke ya ngumpul di danau pinggiran kampus?
Aku    : Haha.. Paan sih, pake gelar itu segala... Oh ya jelas jadi, jam setengah empat ya aku
             jemputmu dirumah, okee...??
Dinda : Haha... Ya iyalah, gelar itu harus selalu lengket ke mahasiswa yang super sibuk kayak kamu.
             :) Oke, jemput aku gak pake telat kayak minggu lalu yakkk.. hehe :D
Aku    : Oke, Siappp Tuan Putriiiii...!! :D

***

               "Oh ya Mister Cum Laude, katanya kamu mau bicara sesuatu..??"
               
              "Haha... Masih aja kamu nih pake gelar-gelaran kayak gitu segala... Oh ya, ini sebelumnya aku ada kado sesuatu buatmu, dibuka aja."

               (Setelah membuka kado) "Wahhh... ini beneran buatku..?? Liontin ini..??"

               (Aku mengangguk pelan sambil tersenyum kepadanya).

               "Wahhh... Makasih nih yaaa... Bagus sekali loohhh.. hehe..."

           "Oh ya, kamu tahu apa arti Liontin itu aku kasih kepadamu..??", aku bertanya sambil jantungku berdetak dua kali lebih cepatnya.

               "Hm... Gak Tahu.. hihi...", sambil tersenyum malu menatapku.

           Entahlah jawaban itu apakah sejujurnya dia tidak tahu atau ia tahu tapi enggan mengatakannya hingga aku lebih dulu mengatakannya.

              "Dinda, aku tak tahu semua ini harus ku mulai dari mana perbincangan ini, tapi asal kau tahu Liontin itu adalah simbol rasa sayangku kepadamu. Simbol rasa kasihku kepadamu. Dan aku mencintaimu Dinda...".

              Dia masih terdiam dan menunggu kata-kataku selanjutnya.

            "Dinda, Liontin itu ada sepasang dan kau tahu dimanakah satunya lagi..?? Satunya lagi sedang ku pakai saat ini...", aku berkata pelan sambil terbata-bata.

              Dan dia pun masih diam menunggu kata-kataku selesai.

           "Dinda... Apakah kamu mau menjadi orang yang paling kusayangi setelah keluargaku..?? Dinda... Apakah kamu mau menerima aku apa adanya tanpa seorang Ibu apalagi seorang Ayah...?? Dinda... Apakah kamu mau dengan semua itu...??", tanyaku gugup sambil menatap wajah syahdunya.

               Dia mengangguk pelan dan tak melihat wajahku karena malu.

          Ketika itu hujan mulai turun, rintik-rintaknya membasahi sekitar dan membuat danau bergelombang, indah sekali.

             Suasana berubah menjadi dingin sekali dan sunyi. Orang-orang seberang sana terlihat berlari-larian mencari tempat berteduh sejenak jangan sampai karena hujan membuat semua tugas kuliahnya menjadi kacau dan pakaiannya menjadi basah tak bisa dipakai untuk hari esok.

               Aku segera membuka jaket yang kukenakan dan segera memakaikan kepadanya. Lantas aku teringat ada satu hal lagi yang belum sempat kukatakan kepadanya.

             "Oh ya, dua hari yang lalu aku baru saja mendapatkan surat dari Oxford Of University di Inggris. Itu beasiswa full S2, sesuai yang aku inginkan, yahhh... Semuanya tercapai sesuai rencana. Bulan depan aku bakal berangkat langsung kesana.", aku mengatakannya langsung sambil melihat ke langit, melihat hujan yang turun semakin lama semakin lebat.

             Lantas seketika aku melihat raut wajahnya langsung berubah seratus enam puluh derajat, wajahnya terlihat sedih dan kosong. Aku merasa bersalah ketika aku mengatakan cinta kepadanya tetapi akupun mengatakan ingin berangkat ke Inggris bulan depan, seperti aku memberikan sebuah lilin penerang buatnya lantas aku tiup lilinnya kembali menjadi gelap gulita. 

                "Yahhh... Kabar bagus dong, aku sangat senang dan sekaligus bangga ternyata orang yang mencintaiku adalah orang yang sangatlah luar biasa."

                Aku tahu itu adalah kata-kata penuh kebohongan. Dia tak merasakan sangat senang seperti apa yang dia katakan, sebaliknya dia merasakan sangatlah kecewa, sangat kecewa...

               Aku tak tahu apa yang selanjutnya ingin kukatakan, yang kupikirkan hujan semakin lama semakin lebat dan hari semakin gelap. Aku tak mau membuatnya sakit dikarenakan hujan sore ini, membuatnya semakin terpuruk. Kami langsung pulang, mengantarkan dia kerumahnya sekaligus pamit kepada orang tuanya dan seketika akupun langsung pulang menuju rumah Bibi.

***

               Hari berlalu begitu cepatnya. Tak terasa sudah empat tahun lebih ku berpetualang ditanah rantauan, tempat begitu banyak cerita berarti yang kualami. Tempat dimana aku berubah total menjadi orang yang lebih baik lagi, menjadi orang yang lebih ramah terhadap sesama, peduli terhadap lingkungan sekitar dan yang terpenting lagi bukan menjadi cowok yang juteknya minta ampun seperti dulu. Hahaha... Semuanya berkatnya, berkat dia yang menjadikan hidupku lebih indah, lebih berarti dan dapat melupakan masa lalu ku yang kelam, semuanya, semuanya berkat dia, itulah Dinda...

             Pukul 09.00 aku berangkat dan telah berada di bus kota menuju Bandara Internasional Adisutjipto, Yogyakarta. Saat itu hujan sedang turun lebatnya membuat kaca jendela berembun lebih cepat, pudar dan tak tampak pemandangan diluar sana. Aku teringat saat pertama kali datang ke Yogyakarta menggunakan Kereta Api, saat itu sedang turun hujan sama lebatnya. Aku membuka catatan kecilku, catatan penuh coretan-coretan pena, catatan penuh dengan untaian kata.

Hujan...
Aku sangatlah menyukaimu...
Pertama kali aku melihatmu begitu banyak cerita indah dibalik kehadiranmu...
Tapi tak jarang ada juga cerita kelam dibalik rintikanmu yang membasahi wajah sedihku...
Hujan... 
Dulu saat aku datang ke kota penuh cerita ini aku sama sekali tak membayangkan akan hal itu...
Dulu saat aku bertemunya aku merasa dia sangatlah aneh, menyebalkan dan sok akrab...
Tapi kau berkata lain dibalik derasmu membasahi kami berdua dipinggir danau itu...
Kau menjadi saksi kami berdua, Kau menjadi saksi ikrar cintaku kepadanya...
Hujan...
Apakah aku bisa berjumpa dengannya seperti hari kemarin..??
Atau surat ini menjadi penutup kisahku kepadanya...??
Hujan...
Aku ingin menjadi sepertimu...
Menjadi sesuatu yang dicintai...
Dan menjadi penghibur dalam kesedihannya dan teman dalam kesendiriannya...
Tapi aku tak mau menjadi seperti kau yang hanya datang sebentar saja...
Aku ingin menjadi Hujan yang selamanya untuknya...
Tapi aku pun tak bisa, karena bisa membuat rasa rindu yang teramat besar ketika sewaktu ku pergi...
Hujan...
Apakah aku salah jika aku merindukan kesunyian dibalik derasmu yang membasahi wajah sedihku..??
Apakah aku salah...??

Yogyakarta, 22 april 2018.

         
              


          

2 comments:

Post Top Ad

Your Ad Spot