Hujan... Kurindu Dia... "The Last Rain for Us" - Teman Pena

"MENJADI MANUSIA YANG BERGUNA ANTAR SESAMA DAN MATI DALAM KHUSNUL KHATIMAH"

Penulis itu

  • Muda
  • Kreatif
  • Berwawasan
  • Amazing!

Hot

Post Top Ad

Your Ad Spot

Tuesday, August 28, 2018

Hujan... Kurindu Dia... "The Last Rain for Us"

     


        Di ruangan itu...
        Semuanya terdiam, tak bergeming sedikitpun...
        Aku terduduk di sofa empuk berwarna putih yang seirima pula dengan cat di dinding ruangan ini...
        Menatap gelas bening yang masih terisi penuh karena aku sama sekali tak selera meminumnya...
      
        "Apakah kamu yakin Raino? Sebaiknya kamu berfikir lagi lebih matang, pikirkan positif dan negatifnya, pikirkan untung ruginya dan yang paling penting pikirkan lagi Bibimu yang telah bersusah payah dan telah sangat berharap kamu berhasil sesuai dengan keinginannya." Ia bertanya untuk kesekian kalinya.

        "Sangat yakin pak, semua resiko yang akan aku terima telah kupikirkan matang-matang. Dan untuk Bibiku, rasanya ia sangat paham dan mengerti apa yang akan aku lakukan saat ini." Aku menjawab penuh keyakinan.

         Dan lagi, ruangan itu hening lagi. Sepertinya apa yang aku lakukan sekarang ini adalah hal sangat rumit bagiku dan baginya, pria besar dan gagah yang telah kuanggap seperti ayahku sendiri disini. Ya, orang yang telah lama aku harapkan, bahkan sejak dulu. Seorang yang bisa kuanggap sebagai seorang ayah dan akhirnya kutemukan disini. Di negeri yang biasa dengan julukannya "The Black Country".

*** 

           Minggu, 01 Juli 2018

           "Welcome to England...!!"

        Laki-laki dengan perawakan tinggi dengan kisaran umur yang tak jauh beda dari, ya dialah senior kami disini, pembimbing sekaligus mentor untuk mahasiswa-mahasiswa beasiswa dari Indonesia. Ada banyak mahasiswa beasiswa yang berasal dari Indonesia, kurang lebih sekitar tiga ratusan, namun itu semua terbagi-bagi diberbagai kampus favorit disini. Kelompok kami hanya berdua puluh, tak lebih dan tak kurang. Berbagai macam daerah dan latar belakang membuat kami harus memahami satu sama lainnya. 

           "Selamat datang kawan-kawan semuanya. Sepertinya tak pantas aku memanggil kalian dengan sebutan adik, karena umur kita tak terlalu terpaut jauh. So, bolehkah aku memanggil kalian dengan sebutan 'kawan'..??"

           Serentak kami mengangguk, tanda sebuah simbol setuju dengan perkataannya.

           "Okey, this is your world and keep fighting with confidence and all your strength because your country does not want to lose the assets they have".

           Dan lagi, kami serentak mengangguk kedua kalinya, menganggap hal itu sudah pasti dan akan kami lakukan hingga selesai tuntas.

         Langit senja disini sangatlah beda. Tak ada sinar yang bebas dari bayangan gedung-gedung tinggi itu. Tertutup, hanya beberapa berkas cahaya yang mampu menembus celah-celah gedung tersebut.

             Kami disini tinggal disalah satu apartemen yang lumayan bagus. Lokasinya berada di 59F Lake Street, Oxford, OX1 4RR, Inggris Raya, tak jauh dari kampus, hanya delapan belas menit jika kami menggunakan kereta dan sepuluh menit jika menggunakan taksi atau kendaraan umum lainnya. Di apartemen ini, kebetulan aku sekamar dengan mahasiswa beasiswa juga namun pastinya bukan berasal dari Indonesia atau negara-negara tetangga sekitar tapi seorang pria yang berasal dari Belanda lebih tepatnya yakni kota Amsterdam yang mungkin memiliki latar belakang yang sama, namun dia lebih beruntung karena masih memiliki seorang ayah yang selalu menunggunya didepan pintu rumahnya jika dia pulang. Namanya ialah Robin van Persie, nama yang sama dengan pemain striker timnas Belanda saat Piala Dunia tahun 2010 lalu. Robin adalah laki-laki yang asyik jika diajak berdiskusi mengenai hukum dinegara masing-masing, kadang membahas tentang politik bahkan juga mengenai problematika timur tengah yang sedang gencar-gencarnya membahas perang saudara dan terorisme yang selalu mengaitkan dengan identitas seorang muslim. Dia juga teman sekaligus sahabat yang akan mendukung akan tindakanku diakhir cerita ini.

***

Oxford, 15 Juli 2018

           Assalamu'alaikum...

           Hai Dinda, apa kabar kamu disana? Semoga selalu baik dan akan selalu baik kedepannya. Apa kabar Ayah Ibumu? Doa yang sama untuk mereka berdua dan seluruh keluargamu. Aamiin...

           Oh ya, kemarin tepat tanggal 1 Juli 2018 aku resmi dilantik menjadi mahasiswa disini. Sekitar 10.000 mahasiswa baru dengan berbagai negara dan latar belakang berkumpul ditempat auditorium terbesar dan termegah yang pernah aku lihat. Ada sekitar 300 mahasiswa beasiswa yang berasal dari Indonesia yang mendapatkan beasiswa untuk kampus favorit di Inggris, namun Universitas Oxford sepertinya hanya menerima sebagian angka tersebut, hanya 40 mahasiswa baru dan itu sudah termasuk aku. Tak masalah, semuanya bisa kuatasi. Dan kebetulan aku sekamar dengan laki-laki asal Amsterdam, Belanda. Dia baik, cerdas dan pasti bisa diajak kompromi ketika aku meminjam dolarnya jika uangku habis. Hehe...

             Oh ya Dinda, akhir-akhir ini ntah kenapa aku selalu memikirkanmu, wajahmu selalu hadir dalam mimpiku, entahlah aku tak tahu. Apakah kamu merasakan hal yang sama denganku? Hm... Rasanya aku saja yang terlalu belum terbiasa dengan semua ini, meninggalkan semua kenangan indah bersamamu, kenangan indah di pinggir danau itu, berdua denganmu saat hujan turun dengan lebatnya hingga kita mampir disalah satu gerobak bakso saking tak ada lagi tempat berteduh saat itu. Haha... Ntahlah, yang sekarang aku inginkan adalah semoga kau selalu baik disana dan membalas sesegera mungkin surat ini untukku. 

           Love You Forever, Ever, Everrrr.... :)
           Raino Albarokah.
           Untuk orang paling tercinta, Dinda Putri Lestari


*** 

           Empat bulan berlalu begitu cepatnya. Saat itu kami sedang berada dalam kelas dengan mata kuliah Hukum Internasional yang akan dijelaskan dengan dosen beserta Pembimbing Akademikku yang baru, Mr. Albert Roberto, seorang yang katanya sedikit killer dengan mahasiswanya.

            "Yah... Hello semuanya, senang berjumpa dengan kalian disini, mahasiswa-mahasiswi hebat pastinya."

            "Yup, langsung saja adakah yang ingin bertanya tentang pribadiku? atau juga mungkin ada yang langsung bertanya dengan topik kita pada hari ini mengenai konflik timur tengah? Silahkan saja jangan sungkan." Ia berbicara seolah berusaha ingin menjadi pusat perhatian bagi mahasiswa-mahasiswinya.

            "Sepertinya tak ada ya? Berarti itu tandanya aku harus memperkenalkan diri terlebih dahulu sebelum kita membahas lebih dalam tentang mata kuliah ini."

            Mr. Robert merupakan laki-laki dengan darah asli kebangsaan Inggris. Ia lahir dikota Cambridge, sekitar dua setengah jam perjalanan jika ditempuh dari kampus ini. Ia mempunyai seorang anak yang mungkin sekarang seumuran denganku, tapi anaknya meninggal lima yang lalu dikarenakan kecelakaan saat mereka sekeluarga berencana liburan ke kota ini, Oxford City. Anaknya meninggal saat dibawa kerumah sakit terdekat sedangkan istrinya yang sedang mengandung seketika harus menelan pil pahit dengan kehilangan calon bayinya. Kenangan itu menjadi kenangan terburuk baginya, namun hebatnya ia tetap tegar menceritakan ulang kepada kami semua.

           "Yups... Sepertinya ceritanya cukup sampai disini saja kawan. Ada yang ingin bertanya tentang topik kita hari ini?"

           Tiba-tiba dipojok kiri paling belakang ruangan itu seseorang tlah berdiri sambil mengacungkan tangannya. Pria yang amat kukenali wajahnya, Alexander Gabriel, seorang yang paling anti dengan Islam dan sekaligus membenciku sebagai mahasiswa muslim di kampus ini.

          "Mengapa dunia tidak membombardir atau setidaknya mengisolasikan negara-negara muslim agar perekonomian mereka semakin terpuruk mengingat akan bahayanya mereka di berbagai dunia, terutama di negeri ini, Inggris. Mereka kerap sekali membuat kerusuhan diberbagai negara, Amerika misalnya, sampai kapanpun kita tak akan melupakan kejadian 11 September 2001, pengeboman gedung WTC." Ia berbicara dengan begitu membaranya sambil sedikit menunjuk-nunjuk kami, terutama aku yang sering berdebat dengannya berbagai isu-isu hangat sementara saat itu.

          Sontak pertanyaan itu menimbulkan kericuhan diruang kelas, mahasiswa-mahasiswi muslim lainnya tak terima akan pernyataan tersebut, mengatakan bahwa muslimlah yang membawa kericuhan diberbagai penjuru dunia atau lebih kejamnya lagi dengan sebutan 'Teroris'.

          Untuk meredam kericuhan, Mr. Robert berusaha menenangkan mereka yang sibuk dengan argumennya masing-masing dengan dalih akan menurunkan scor jika masih ada yang bersuara tanpa seizinnya.

           "Baiklah, sepertinya yang kamu bicarakan itu lebih tepatnya adalah sebuah pernyataan darimu, bukan pertanyaan."

           "Baik, disini ada yang ingin menjawab atau membalas pertanyaan, upss... Pernyataan maksudku dari saudara Gabriel?" Ia segera melepaskan kesempatan untuk memberikan jawaban kepada seluruh mahasiswa didalam ruangan itu.

           Seketika tanpa menunggu lama akupun langsung berdiri dan mengacungkan tangan dengan penuh keyakinan.

           "Baiklah, silahkan nak, silahkan bicaralah semuanya agar kau puas tapi ingat perhatikan tata cara diskusi. Silahkan nak..!!"


           Tanpa menunggu lama aku pun langsung menjelaskan semuanya, hal paling mendasar tentang Islam, etika seorang muslim terhadap Tuhannya dan terhadap sesama makhluk hidup lainnya, hingga kasus yang ia angkat sendiri, Pengeboman Gedung Kembar WTC, 11 September 2001.

***

           Di ruangan serba putih itu kembali lengang...

           "Baiklah, sekarang apa yang akan kamu lakukan nak..!?" Orang tua itu pun bertanya lagi.

          "Malam ini juga aku akan segera berangkat pak, tak ada waktu lagi untuk ditunda atau aku akan menyesal seumur hidupku..!!"

           "Bagaimana mungkin..!? Diluar sana sedang lebat-lebatnya hujan turun ditambah lagi malam ini adalah malam minggu, pasti disetiap sudut jalan mengalami macet yang tak bisa kita hindari nak..!!" 

            "Baik, kalau begitu izinkan aku untuk meminjam pesawat jet pribadimu mister..!! Aku sangat memerlukannya..." Aku berusaha membujuknya lebih kuat lagi.

            Untuk kesekian kalinya ia terdiam, berfikir sejenak langkah terbaik apa untukku agar sampai disana dengan aman, di Jakarta.

***

            "Sudah..!! Hentikan semuanya..!!" Teriak Mr. Robert untuk menghentikan debat kusir antara aku dan Gabriel.

            "Baiklah, semuanya sudah jelas, semuanya telah dijelaskan secara detail oleh Raino dan kamu Gabriel jika kamu tak ada sanggahan yang jelas berarti kamu harus menerima penjelesan Raino tersebut..!!"

             Sepertinya aku tahu apa yang dipikirkannya, wajah merah padamnya mewakili semua hal apapun dibenaknya. Kesal, jengkel, dan rasanya ingin menonjokku berkali-kali lipat. Aku sangat senang sekali ketika lawan debatku terlihat kalah telak, tak mampu memberikan argumen meyakinkan lagi, semua fakta dan opini telah aku kuasai, dan sepertinya teman sekongkolannya merasa hal yang sama dengan apa yang dirasakan 'BigBoss' mereka, Alexander Gabriel.

             Pertemuan itu sangat menyenangkan dan juga awal kedekatanku dengan Mr. Robert. Selain hal-hal bersifat formal, aku sering mendatangi rumahnya hanya sekedar silaturrahmi, mengobrol dengan keluarganya adalah hal yang sangat menyenangkan dan sangat mampu mengatasi kerinduanku akan dua hal, pertama kerinduan dengan kakak dan keluarga Bibiku di Yogyakarta dan kedua adalah kerinduan dengan pujaan hatiku yang tlah lama tak berjumpa, Dinda...

***


London, 03 Desember  2018

              Assalamu'alaikum...

              Haii Dinda... Apa kabar kamu disana..?? Semoga kamu sampai hari ini selalu diberikan kesehatan dan kebahagiaan walaupun aku tak ada disampingmu saat ini. Aamiin..

              Hmm... Sudah lama rasanya aku tinggal disini, yahhh.. Banyak hal yang aku dapatkan disini, selain saling mengerti dengan adat dan budaya disini, aku pun terus belajar untuk selalu bersikap baik walaupun banyak yang masih berfikiran ekstrimis tentang Islam. 

               Oh ya, bagaimana dengan suratku kemarin...?? Sudah menerimanyakah...?? Jujur aku sangat menunggu surat balasan darimu Dinda, dan jujur aku tak mau membohongi perasaanku, aku sangat merindukanmu lebih dari yang kau tahu. Tak ada dipikiranku untuk meninggalkanmu sendiri disana, jika ada pilihan lain dan ini dibolehkan, aku ingin kita berdua kuliah disini bersama, tertawa bersama dan saling menatap indahnya senja di London Bridge dan megahnya lampu saat malam disana. Oh ya hampir saja lupa, sekarang aku sedang berada di London, sebagai ketua perwakilan mahasiswa beasiswa di kampusku maka aku diundang untuk berkumpul membahas beberapa hal disana. Yahhh... Setiap melihat jembatan icon Inggris itu aku sepertinya merasakan kerinduan yang teramat dalam kepadamu Din, percayalah...

                Kemudian aku ingin menceritakan tentang seseorang yang telah lama aku harapkan, disini ada seorang dosen yang sangat menerimaku, keluarganya sangat hangat. Setiap libur pekan aku selalu menyempatkan bermain kerumahnya. Tak ada istimewanya dari keluarganya, tapi entahlah setiap aku bermain kerumahnya sepertinya aku menemukan keluarga baru disini, di negeri rantauanku yang kedua, Inggris.

                Semoga surat ini cepat sampai ditanganmu, dan aku harap kamu membalasnya.

           Love You Forever, Ever, Everrrr.... :)
           Raino Albarokah.
           Untuk orang paling tercinta, Dinda Putri Lestari

 ***

            Dua tahun kemudian...
           
            "Sedikit lagi..."
            "Ya, sedikit lagi..."
            "Ayolahh Raino...!!"
            "Sedikit lagi...!!"
            ...
            ...  
            "............"

            Semuanya kabur seketika, gelap, rasanya gelap sakali dan aku tak tahu dimana aku berada. Semua yang kulihat seketika menghilang, dan... Dinda... Dimana Dinda..?? Dimana dia..?? Dindaaa...?? Dimana kamu...?? Dinndaaaa....!??

            Aku terbangun, melirik jam saat ini, jam dua malam. Aku terbangun dengan penuh keringat, menggigil, dan mimpi itu hampir sama dengan mimpi sebelumnya. Setiap malam entah kenapa aku selalu bermimpi buruk, bangunan itu, dan orang-orang itu, siapakah mereka..?? Apa yang sedang terjadi dengan Dinda..?? 

             Memang sudah dua tahun lebih aku tak menerima kabar darinya, apalagi balasan surat yang telah kukirimkan selama ini, tak ada satupun yang berasal darinya. Aku sudah bertanya kesemua orang temanku kuliahku dulu, dan lagi tak satupun mereka mengetahui dimanakan Dinda sekarang. Begitupun dengan Bibi, sepertinya ada hal yang aneh yang terjadi dengannya.

              Minggu ini adalah hal yang terpenting dalam hidupku, dan kalian tahu minggu depan adalah sidang atas Thesis yang telah kubuat. Dan lagi Mr. Robert lah yang menjadi pembimbing atas laporan Thesisku disini. Menurutnya Thesis yang kubuat adalah Thesis yang mengagumkan. Dia belum pernah membaca laporan sedetail itu, kajian analisisku terlalu jauh dari apa yang dia harapkan dan sebab itulah hampir setiap hari aku kerumahnya demi membicarakan analisisku itu. Tema yang ku ambil adalah mengenai Hukum Timur Tengah. Banyak hal rumusan masalah yang terkait hal itu, dan juga aku sangat tertarik dengan kehidupan negara-negara di Timur Tengah, negara dengan rata-rata yang telah menerapkan hukum syariat sebagai hukum di negaranya namun anehnya kebanyakan merekalah yang sering terjadi konflik terhadap negara-negara lainnya.

              Hari ini aku sedang tidak bersama dengan Mr. Robert melainkan dengan Robin, teman sekaligus sahabatku sekamar. Banyak hal yang akan kami lakukan hari ini, yaitu berkutat dan menghajar semua buku di perpustakaan terbesar di Inggris itu. Ya, Aku dan Robin sedang mencari buku-buku yang bisa menjadi referensi tambahan untuk laporan Thesis kami, dan Robin sangat membantu akan hal itu.

               "Mau berapa buku lagi yang kau cari Rain..??" Dia sepertinya mulai mengeluh dengan rutinitas sebulan terakhir ini.

                "Sepertinya ada dua ratus buku lagi yang belum kubaca, dan buku itu lumayan cocok untuk menampol orang-orang yang telah menghabiskan kue spesial ulang tahun ku minggu lalu." Aku menjawabnya dan terus membaca.

               "Hahaha... Astaga Raino, tak kusangka Raino yang kukenal sekarang adalah Raino yang suka mengungkit-ngungkit masa lalu." Dia tertawa sambil menepuk-nepuk bahuku.

               "Ayolahh...!! Jangan ngambek begitu, kalau perlu malam ini kita pergi ke restoran sebelah, terserah kau mau makan apapun, asalkan cukup untuk kantongku." 

                Aku hanya diam dan tak memerdulikannya.

                "Rainoo...!!" Teriaknya.
       
             "Oke-oke, baiklah sebagai bonusnya kau berhak mengajak siapa saja yang kau mau, walaupun itu sangat menyakitkan bagi dompetku tersayang." Dia sambil mengelus-ngelus isi dompetnya yang sudah tipis.

             "Haha... Benarkah..?? Itu tawaran yang sangat menarik, kalo begitu aku akan segera mengajak Gabriel untuk makan bersama malam ini, Deal..!?"

               "Hah..!? Kenapa harus pria itu, aku sangat tidak menyukainya."

               "Apakah tawaran ini harus disetujui oleh Pak Robin van Parsie dahulu..?? Jika saya tidak salah mendengar ada yang mengatakan kau berhak mengajak siapa saja yang kau mau..??" Aku sambil tersenyum-senyum melihat wajahnya yang seketika memerah.

               "Oke-oke, tak masalah asalkan saudara Raino tak akan mengungkit-ungkit masalah minggu lalu kue tersayangnya yang tak sengaja dihabiskan tanpa sisa oleh teman sekamarnya." Jawabnya dengan penuh kekesalan.

               "Oke..!! Fix Deal yaaa...??" Tanyaku memastikan.

               Dia hanya mengangguk, sepertinya ada sesuatu yang kurang puas dihatinya tapi itu bukan masalah besar bagiku, yang terpenting siang ini aku menang dan aku akan menagih janjinya nanti malam.

***

                Pagi ini adalah hari terakhiku menyiapkan semuanya untuk besok. Besok pagi merupakan sidang Thesisku dan hal itu juga inti semuanya yang aku perjuangkan disini. Semua bahan tambahan referensi yang kupersiapkan minggu lalu selesai sudah, sempurna. Tak ada lagi buku tebal, tak ada lagi pasal-pasal dan tak ada lagi coretan-coretan pena dari Mr. Robert melaikan hari ini aku akan fokus berkeliling Oxford, berjalan sambil melupakan semua hal yang mengganggu konsentrasiku esok.

                Sebenarnya aku tak berminat untuk jalan-jalan namun karena paksaan dari Robin dan semalan dia selalu mengajakku, merayu, menawarkan tempat-tempat yang memang belum pernah kujelajahi, apa boleh buat tak ada salahnya aku mengikutinya. Semuanya sudah siap, kami berdua telah siap untuk segera berangkat. Tempat pertama yang akan kami jelajahi yaitu Pitt Rivers Museum yang memiliki koleksi berbagai benda yang berkaitan dengan kehidupan manusia mulai dari pakaian, peralatan bersolek hingga senjata, tempatnya tidak jauh dari kampus hanya lima menit jika dengan berjalan kaki. Kemudian tempat kedua yang jaraknya tak terlalu jauh dari kampus, ialah Oxford Castle & Prison, sebuah castle termegah diabadnya, meninggalkan banyak cerita misteri dibalik berdirinya castle tersebut dan merupakan salah satu peninggalan tersisa saat terjadinya Perang Saudara Inggris dan masih banyak lagi tempat objek wisata yang telah kami list malam tadi.

                 Hari itu kami berdua sungguh menikmati perjalanan, masuk-kelaur bus transit, hingga berlari menuju stasiun bawah tanah demi mengejar jadwal tiket perjalanan terakhir menuju Oxford Canal yang merupakan jarak terjauh dari setiap list yang telah kita siapkan

                 Pukul 17.00 waktu di Inggris aku telah berada di kereta cepat menuju stasiun terdekat dengan kampus. Duduk menatap jendela kaca kereta, rintikan hujan membasahi semuanya. Sudah lama aku tak melihat hujan turun dan aku teringat kembali saat aku menuju ke Yogyakarta dulu, sama halnya dengan sekarang, hujan gerimis.

               Pukul 18.00 kami telah sampai apartemen dan tetangga sebelah apartemen kami memberikan sepucuk surat kepadaku tanpa memedulikanku Robin segera masuk menuju kamarnya. Aku duduk didalam kamar ditemani dengan hujan yang semakin lama semakin lebat. Ku buka isi suratnya, dan tak kusangka surat itu berasal dari orang yang paling kucintai, Dinda...

*** 

                 Pukul 19.00 waktu Inggris.

            "Tak ada waktu lagi untuk berpikir panjang mister, semuanya akan terlambat. Dinda memerlukanku saat ini, aku mohon..." Pintaku kepadanya.

                 Saat ku tahu isi surat darinya aku pun segera menuju rumah Mr. Robert, orang yang sudah kuanggap sebagai ayahku sendiri dan pasti dia akan membantuku untuk pulang menuju Jakarta malam ini.

               "Pesawat Jet tak akan sanggup terbang sejauh itu dengan kondisi cuaca seperti ini Raino..!!"

               "Lantas apa yang harus kulakukan mister..!? Berdiam diri disini dan terus berdoa supaya tak terjadi apa-apa kepadanya..!? Sudah jelas Dinda saat ini sedang sakit keras, dan dia akan segera operasi malam ini..!!" Balasku.

                Rasanya aku telah kehabisan cara untuk membujuknya, tak ada cara lain yaitu pergi menuju bandara dengan berbagai risiko yang akan kuhadapi disana, hujan badai...!!

                Aku keluar dari rumahnya, tak ada kata perpisahan yang kuucapkan kepadanya, sia-sia saja. Sudah berapa menit kuhabiskan hanya untuk berdebat yang tak berujung dan hasisnya nihil. Aku segera menuju jalan, menyetop sembarang taksi yang lewat. Dari ujung sana kulihat Robin dengan orang lain yang wajahnya tertutup dengan topi hitamnya.

                "Rainoo...!!"

                 "Ada apa..!? Aku tak ada waktu untuk berbicara yang tak penting saat ini..!!"

                 "Apakah kamu ingin sekali pergi ke Jakarta malam ini Rain..??"

                Seseorang dengan topi hitam itu bertanya denganku, sepertinya aku tak asing mendengar suaranya, dan astaga bukankah itu Gabriel..?? Ada apa dengan anak itu sampai segitunya mengejarku saat hujan lebat malam ini..??

                  "Kau bisa menggunakan Helikopter ayahku, tak jauh dari sini dan kau akan segera sampai menuju bandara Rain, memang benar apa yang dikatakan Mr. Robert, terlalu bahaya jika kau bepergian menggunakan pesawat jet pribadinya..!!" Ia sambil membuka topi hitamnya menatapku tajam meyakinkan.

                  "Seriuskah..!?" Aku meyakinkan.

                  "Aku tak ada waktu untuk berbicara yang tak penting saat ini Rain..!!" Balasnya.

                 Aku tahu kata itu merupakan kata ejekan terhadapku, dan malam ini sepertinya dia berhasil membuat wajahku sedikit merah padam

                Tak ada waktu untuk hal-hal tak penting saat ini, ya malam ini merupakan malam segalanya bagiku. Tak penting lagi sidangku besok, tak penting lagi beasiswa S3 saat ini, semuanya yang ada dipikiranku ialah kamu, Dinda...

***

                  Banten, Pukul 01.30 WIB.

                 Aku telah sampai di bandara Soekarno-Hatta dan saatnya langsung menuju RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Sepertinya langit malam ini sedang menangis tersedu, melihat perjuanganku saat ini demi melihatmu, Dinda.

                 Sama halnya di kereta cepat sebelumnya, hujan lebat semakin ganas membasahi jendela kaca mobil taksi yang kutumpangi dan untungnya jalan tol saat itu sedang lengang hampir tak ada mobil yang kami lewati. Aku duduk dengan penuh cemas, menatap jam tangan seolah berjalan begitu cepatnya. Menyuruh supir taksi untuk lebih cepat lagi rasanya hal itu sangat tak mungkin, mobil kami sedang melesat begitu cepatnya dan begitu banyak potensi terjadinya hal tak kuinginkan saat ini.

***

                Jakarta, Pukul 02.15 WIB.

               Tepat waktu, aku sampai dikamarnya ketika operasi akan segera dilakukan. Aku tahu jadwal operasinya saat membaca seluruh isi suratnya. Menjelaskan kenapa dia tak membalas seluruh suratku, menjelaskan situasinya saat itu, dan menjelaskan seluruh jadwal operasi yang akan dilakukan. Sudah berapa kali ia menjalani pengobatan untuk menyembuhkan kanker otaknya dan semuanya nihil tak ada perubahan. Aku tak tahu sama sekali dengan kanker otaknya, dia tak pernah menceritakan semuanya kepadaku, semuanya tampak baik-baik saja.

                 Di sana, di ruangan dengan luas 5x5 meter terlihat orang yang kusayangi sedang terbujur lemas tak sadar dikasurnya. Aku memegang lenganya, mengusap halus telapak tangannya. Air mata ini tak dapat kutahankan lagi, semuanya, semuanya telah tumpah membasahi hampir seluruh telapak tangannya. Kulihat sebuah liontin terpasang di lehernya, liontin yang kuberikan saat di pinggir danau itu, astaga... Dia masih memakainya..!??

                 "Nak, biarkan dokter membawanya ke ruang operasi, dia harus segera di operasi malam ini." Ibunya menatapku dengan penuh iba.

                 "Benar nak, biarkan dokter mengurus semuanya, dia akan baik-baik saja." Balas ayahnya.

               Di rumah sakit itu sedang berkumpul seluruh keluarganya, hanya ayah dan ibunya saja yang menemaninya di dalam ruangan itu.

               Aku tetap memegang erat lengannya, berusaha membangunkannya dari koma panjang ia alami saat ini. Tiba-tiba lengannya bergerak dan berusaha menarik dari tanganku.

           Aku melihat kelopak matanya, dia membuka mata. Dinda, apakah kamu merasakan kehadiranku..??

                  "Raino..??" Dia bertanya dengan nada yang begitu pelan.

                  "Yaa..?? Aku disini Dinda, aku disini..!!" Aku terus mengusap telapak tangannya.

                  "Apakah waktuku sebentar lagi..??" Dia bertanya lagi.

                  Astaga..!! Apa yang barusan dia katakan..!? waktunya sebentar lagi..!? Maksudnya apa..!? Aku tak mau kehilangannya..!!

             Tiba-tiba mesin detak jantung itu berbunyi tak berirama, garis-garis itu terlihat mulai menampakkan gerakan tak teratur. Seirama dengan gerakannya, ia terlihat seperti sedang kesulitan entah apa yang terjadi dan dengan sigap dokterpun menekan dadanya dengan pemacu jantung agar detaknya kembali normal.

                  "Sekali lagiii...!!"

                  "Sekali lagiii...!!"

                  "........." Suara mesin detak jantung itupun lengang seketika tak ada suara frekuensi naik turun yang terdengar.

                  Entah apa yang terjadi, malam ini, malam ini merupakan malam dari seluruh malam kesedihanku. Aku tahu tatapan kosong dokter itu, aku tahu suara sinya dari mesin detak jantung itu dan aku sangat tahu sekali apa yang terjadi denganya saat itu. Tak ada harapan lagi untuk memperbaiki semuanya. Aku terlalu egois dengan duniaku sendiri sampai aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengannya. Kanker otaknya telah mengambil seluruh cita-citanya termasuk mungkin menikah bersamaku. Aku pernah mengirimkan surat kepadanya, berjanji kepadanya jika aku telah menyelesaikan study ku di Inggris aku pun akan menyelesaikan semua urusanku dengannya dengan kata lain aku akan menikahinya, itulah janji terbesarku kepadanya...

                Ibunya tak bisa menahan isak tangis teramat dalam apa yang terjadi dengan puteri kesayannya. Keluarga yang telah menunggu diluar seketika berebut masuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Begitupun dengan ayahnya, namun ia memberikanku sepecuk kertas yang dikeluarkan dari kantong saku celanya.

                "Ini pesan terakhir dari Dinda nak, untukmu..." Dia memberikan kertas itu kepadaku.

                Aku tak menjawab apapun darinya, hanya melihatnya demi meyakinkan hal itu. Dan aku segera membukanya, membacanya penuh khitmah hingga air mata pun mengalahkan derasnya hujan diluar sana...

Jakarta, 04 Juli 2020

                Untuk laki-laki kedua yang paling kucintai di dunia ini...
                Untukmu yang bernama Raino Albarokah...

                Apakah Kau tahu Hujan..??
                Pasti kau sangat mengetahuinya bukan, lebih tahu dari apapun itu...
                Namamu saja Raino, yang berasal dari kata Rain, Hujan...
                Setiap aku melihat Hujan rasanya aku selalu melihatmu Rain, ya melihatmu...
                Dibalik jendela itu, hampir setiap hari dibulan ini Hujan turun begitu lebatnya...
                Aku takut sekali, bukan karena Hujannya, tapi karena waktuku...
                Aku percaya waktuku tak akan bertahan lama, dan kamu..??
                Aku tak pernah melihatmu lagi, terakhir saat Hujan lebat di danau itu...
                Aku ingat suratmu saat di Yogyakarta dulu sampai kau ingin menjadi seperti Hujan...
                Aku ingin sepertimu Rain, seperti Hujan yang bebas ingin kemana dan dengan siapa...

                Raino...
                Maafkan atas semua rahasiaku...
                Maafkan atas pura-pura ku kepadamu...
                Percayalah, saat kau baca surat ini berarti aku sangat dekat denganmu, disampingmu...
                
                Hujan...
                Maafkanku, akhirnya aku bisa sepertimu, bebas kemana saja dan dengan siapa saja...

                Hujan...
                Maafkanlah aku...

                Yang mencintaimu,
                Dinda Putri Lestari...

~End...

*Cerpen ini merupakan kelanjutan dari Cerpen sebelumnya, "Hujan... Kurindu Dia..."

No comments:

Post a Comment

Post Top Ad

Your Ad Spot