Terlalu Pemilih #3 "Peluru Berkaliber 7,62 x 39 mm" - Teman Pena

"MENJADI MANUSIA YANG BERGUNA ANTAR SESAMA DAN MATI DALAM KHUSNUL KHATIMAH"

Penulis itu

  • Muda
  • Kreatif
  • Berwawasan
  • Amazing!

Hot

Post Top Ad

Your Ad Spot

Saturday, October 5, 2019

Terlalu Pemilih #3 "Peluru Berkaliber 7,62 x 39 mm"



     Rindu, kemana engkau kini
     Kau mengekang hati ini seorang diri
     Duduk tertepi, lalu tertunduk menangis lagi
     Rindu, engkau datang lagi
     Menyusup kelam dalam relung hati
     Terisak, gemetarlah tangan dan kaki
     Lalu membunuhku, pergi dan tak kembali



     Hampir sebulan lebih Aku merasa bahagia, menikmati rasa saling suka dan saling cinta. Melewati hari penuh dengan canda tawa dan senyum indahnya. Aku dan Ririn semakin lama semakin akrab, ntah berapa lagu kita nyanyikan dan berapa senja kita habiskan. Layaknya sahabat, ya memang sekarang kami masih mengatasnamakan kedekatan ini dengan sebutan "sahabat", sebuah ironi yang terjadi. Kadang ketika ia memainkan alat musik itu, saat itu pula rasa cinta ini terus tumbuh semakin dewasa.

     Hari ini entah kenapa langit terus mendung, lalu hujan menggusur keceriaan. Padahal hari ini adalah hari pentingku, ujian akhir semester dikampus. Sore itu, dengan langit masih gelap, dengan rintikan hujan terus mengguyur Aku duduk ditengah taman. Sengaja tak ada Ririn, agar Aku bisa fokus belajar untuk setengah jam kedepan. Sunyi, sepi tapi menakutkan. Sebuah firasat buruk terus terlintas, hingga benar saja, firasat itupun benar adanya.

     Ponselku berbunyi...

     Berdering keras tiada henti...

     Kuangkat telepon itu, disana tertuliskan sebuah nama, Ibu.

     "Hallooo nakkkk...", suara ibuku memanggil.

     Dibalik ponsel itu ada seorang perempuan berumur yang memanggil namaku, nafasnya terdengar sesak, isak tangisnya pun terdengar jelas. Entah apa yang terjadi, kataku membatin.

     "Iyaa buu..?? Ada apa..?? Ibu kenapa..??", tanyaku penasaran.

     Sore itu masih gelap, masih hujan dan sangat menegangkan.

     "Kamu dimana nakkk..?!", tanyanya sekali lagi.

     "Aku sedang dikampus bu... Ada apa...?? Ibu membuatku takut...", jawabku pelan.

     Jujur saja, ketika ia mengatakan kalimatnya, jantungku hampir berhenti dan seisi dunia turut menjadi gelap lalu lenyap...

     "Haikal, ayahmu nakkk...!!", suara khas itu langsung membuatku merasa kaku dan dingin.

     Dan... Air mataku untuk kedua kalinya pun menetes lalu menyatu bersama genangan air hujan...

***

     Bandung, 22 September 2007

     Pagi cerah seperti biasa, Aku yang saat ini berumur 10 tahun bersiap untuk berangkat kesekolah. Begitupun dengan kakakku, Muhammad Ali Gunawan, yang telah duduk rapi bersiap untuk menyantap sarapan lezat yang sedang dimasak ibu. Ya, Aku dan kakakku hanya selisih setahun dan saat ini kami sedang bersiap untuk menghadapi ujian semester Sekolah Dasar, apalagi dia yang sudah kelas 6, terlalu serius untuk mendapatkan nilai terbaik saat Ujian Nasional nantinya.

     Oh ya, nama ayahku ialah  Ibrahim Rifky Gunawan, jadi nama Gunawan kami berdua diambil dari nama ayah sebagai ciri kami bahwasannya kami adalah keluarga Gunawan. Lelaki perkasa itu berprofesi sebagai polisi, lalu menikah dengan perempuan amat cantik kelahiran Bandung. Namanya Putri Ayu Aisyah, perempuan paling cantik dikeluarga kami. Dulu, dari cerita ayah, ibu merupakan dokter cantik dirumah sakit, dekat kantornya. Saking dekatnya jarak antara rumah sakit dan kantor ayah, lantas ia sering mengantar ataupun menjemputnya untuk pulang bersama. Singkat cerita merekapun menikah.

     Hari terus berlanjut, ujian kamipun kian dekat. Esoknya hari itu tiba, hari dimana kami berdua akan mengikuti ujian semester.

     "Haikalll...?? Kamu gimana udah siapkan sayang...??", tanya ibuku yang entah keberapa kalinya.

     "Haduuhhh buuu... Kan Haikal udah belajar semaleman, coba-coba deh tanyain Haikal soal kalo ibu gak percaya...", cemberutku sambil menampakkan wajah jeleknya.

     "Haha... Iya iya, ibu percaya kok... Kan anak-anak ibu pada pinter-pinter semua, iya kan ayah?", jawab ibu sambil mengelus-ngelus rambutku.

     "Iya iya dehhh... Apalagi anak ayah satu ini, paling ganteng. Bang Ali udah siapkan?", tanya ayah kepada Ali.

     "Sudah dong ayah, kan abang harus siap buat dapetin nilai seratus diujian nanti. Hehe...", jawabnya sambil tertawa.

     Kami pun ikut tertawa, hampir-hampir telur yang digoreng ibu pun gosong.

     Pukul 06.30 WIB kami pun berangkat, bersalaman dan melambaikan tangan kepada ibu. Dijalan, Aku dan kakakku terus membaca buku didalam mobil, mengulas kembali bacaan yang telah dihafalkan tadi malam.

     Sesampainya di depan gerbang sekolah, tiba-tiba...

     Dooorrrrr....!!!

     Suara tembakan muncul dadakan, entah darimana arahnya. Namun setelah suara tembakan itu selesai, Aku dan ayah melihat pemandangan yang amat memilukan.

     Terlihat perut sebelah kiri kak Ali pun mengeluarkan darah, deras sekali.

     "Ayyaaahhhhh...!!", teriaknya.

     "Bang Ali...?! Ya Allah nak, kamu nakkk...?!!", suaranya serak basah memanggil sebuah nama.

     Kejadian itupun sangat cepat dan mengundang banyak teriakan, para polisi dan bantuan pun turut berdatangan, hingga akhirnya kami pun diangkut kedalam mobil ambulan dan segera dibawa ke rumah sakit kota, ya sangat segera...

     Akhir cerita, setelah kejadian itu kak Ali pun meninggal. Kami bertiga tak sempat melihat hembusan terakhirnya, hanya ada bekas tawa cerianya, padahal baru saja kami berbagi tawa.

***

     Bandung, 03 Desember 2007

     Aku, ayah dan ibu mendatangi makam kak Ali. Disana kami menteskan air mata serta doa. Berharap dia bisa tenang dan bahagia. Sebelum pergi Aku meninggalkan puisi untuknya.

     Setangkai Bunga...
     Hai kakak, bagaimana kabar kita...
     Yang pernah berjanji menaklukkan dunia...
     Yang pernah bertekad mengelilingi eropa...
     Dan yang pernah berbagi tawa...
     Hai kak Ali...
     Aku sendiri, sepi dan sunyi...
     Menangis untuk pertama kali...
     Berpisah dan takkan kembali...
     Selamat jalan kak Ali...

     Sejak saat itu, Aku pun menjadi pendiam. Akhirnya beberapa lama kemudian para ahli baru menemukan hasil penyelidikannya. Ternyata kasus terbunuhnya kak Ali merupakan kasus penembakan yang sampai saat ini masih misterius siapa pelakunya. Yang pasti saat ini bukti nyatanya ialah peluru itu, peluru berkaliber 7,62 x 39 mm, peluru dengan senapan yang bernama AK-47.

***

     Yogyakarta, 05 Oktober 2019

     Dipusara itu kami berdiri, lalu berdoa untuknya dan untuk kak Ali. Setelahnya, masih disana ibupun bercerita.

     "Nak, kamu harus tahu yang sebenarnya. Saat sepeninggalnya kakakmu, ayah bersikeras menemukan siapa pelaku atas pembunuhan tersebut. Sekian lama ia melakukan proses penyelidikan akhirnya 2 bulan lalu dia dan tim penyidik akhirnya mengetahui siapa pelaku pembunuhan tersebut.", ceritanya.

     Aku masih diam dan terus mendengar ceritanya.

     "Ibu sudah memperingati ayahmu untuk berhati-hati. Kau tahu, ternyata pembunuhan saat itu merupakan tembakan salah sasaran. Sebenarnya yang menjadi incaran pembunuhan tersebut adalah ayahmu. Saat itu ayahmu menyimpan seluruh bukti atas korupsi yang terjadi pada salah satu anggota dewan, namun bukti pembunuhan yang ditujukan kepada anggota dewan itupun tak terlalu kuat hingga ia tidak bisa menangkapnya. Hingga kemarin dia bersama tim melakukan operasi rahasia penyergapan disalah satu gedung tua disebelah barat Jakarta. Dan naas, ia tertembak dan meninggal."

     Ibu mencerikannya secara detail. Sebuah ketidaktahuanku akan proses penyeledikan yang dilakukan ayah. Pantas saja sikap ayah yang akhir-akhir ini selalu bersikap dingin dan tegas. Tampak jelas, terasa ada yang disembunyikannya.

     Sore itu dengan cahaya redupnya senja, Aku, ibu dan Ririn pergi memutar langkah, menuju rumah yang penuh akan kenangan mereka berempat. Tawa mereka telah lenyap, tinggal kesedihan dan air mata ibu yang terus membanjiri seisi rumah. Hingga senja tak terlihat indah lagi dan hujan bukan keberkahan lagi, semuanya menjadi sangat menakutkan yang diselimuti akan tangis kesedihan.




To be Continue...

Aku dan dia masih bersitatap, menggenggam akan amarah yang tak terarah...

"Sudah Haikal, Aku capekkk...!!", tegasnya penuh kekesalan, lalu memutar arah dan pergi.

     

3 comments:

  1. Siapa yang capek dengan Haikal pik? Siapa? Jangan bilang Ririn! Kita semua sayang Ririn... Semoga Ririn dan Haikal menikah. Awas aja kalo ngga!

    Jadi makam kak Ali di Bandung apa di Jogja?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Duhhh... Jdi deg"an kan mo nulis series 4 nya klo gni.. hihi 😆😂

      Makam kak Ali di Bandung kak, sma juga dg makam ayahnya, jadi dsna ceritanya makam keluarga besar mereka..hehe 😁

      Delete
    2. Eh maaf kkak, mksudnya makam awalnya kak ali di bandung, jdi sejak insiden tsb, kluarga mreka pun pindah ke Yogyakarta, begitupun dg makam kak alinya untuk memudahkan proses penyilidikan. Klo makam keluarga besarnya tetep dibandung... Hehe 😁👃

      Delete

Post Top Ad

Your Ad Spot