Terlalu Pemilih #4 "Bedah Arah" - Teman Pena

"MENJADI MANUSIA YANG BERGUNA ANTAR SESAMA DAN MATI DALAM KHUSNUL KHATIMAH"

Penulis itu

  • Muda
  • Kreatif
  • Berwawasan
  • Amazing!

Hot

Post Top Ad

Your Ad Spot

Saturday, November 16, 2019

Terlalu Pemilih #4 "Bedah Arah"




     Ada kalanya senja menutup hari dengan warna jingga yang rapuh
     Ada kalanya kapal yang berlayar lalu menepi untuk berlabuh
     Berakhir, bukan, lebih tepatnya pergi hanya untuk berteduh
     Berteduh diantara ranting, lalu tertidur menghapus hati yang peluh
     Akankah ini awalnya?
     Memilih kata masing-masing antara ego yang nyata
     Bertengkar, seolah yang paling benar diantara kita
     Sayangnya egokulah yang meraja
     Tanpa memandang lagi cinta yang kau berikan, dan ego pun muncul dalam tiga kata
     Dendam Yang Nyata



     Malam itu riindu masih menyisahkan pilu. Dikamar dengan ukuran 4x5 meter itu, aku berbaring sambil menutupkan wajah dengan buku tua yang telah usang. Seisi ruangan terasa sunyi, walau lagu Fiersa Besari yang berjudul "Kau" itu seolah mengisi suara yang hening. Namun tetap saja telinga dan hati telah tuli meratap penyesalan yang tak akan pernah habis.

     Aku terbangun, mengusap air mata yang telah kering. Disisi kananku terlihat sebuah buku tua yang telah usang. Buku tua itu merupakan album keluarga kami yang berisikan foto-foto yang hanya menyisakan kenangan. Dihalaman pertama terpajang jelas foto yang berukuran lumayan besar dimana saat itu ibu baru saja melahirkan kak Ali. Terlihat jelas garis senyum indah serta lekukan alis mata bahagia dari ibu yang mungkin sudah satu tahun lebih mereka tak dikaruniai buah hati. Dihalaman kedua adalah foto kelahiranku yang hanya berjarak kurang lebih setahun dari kak Ali , untuk ukuran fotonyanya sama dengan sebelumnya, lumayan besar dan penuh mengisi satu halaman. Dihalaman berikutnya membuatku sedikit tersentak. Disana ada selembar foto yang telah robek sisi kanan atasnya, foto yang berisikan Aku, kak Ali, ayah dan ibu sedang berlibur ke puncak Kota Bogor. Rasanya foto itu masih hangat diingatan, namun sayang, ingatan itu hanya sekedar ingatan kelam dimana hanya menyisakan isak tangis dan rasa sakit mendalam. Percuma...

     Entah apa yang terjadi, spontan air matapun terlinang dan melintasi pipiku yang sedang bersedih.  

     Tak terasa rasa duka terus menghampiri, padahal duka itu rasanya telah lama, mungkin sekitar dua bulan sudah, entahlah Aku pun tak terlalu menghitungnya... Sudah terlanjur basah, Aku pun berteriak sekeras-kerasya, hingga ruangan pun penuh suara tangisan yang lebih menjadi-jadi.

     Hingga... Akupun kembali tertidur... Pulas Sekali...

     Esok paginya Aku terbangun, terdengar jelas suara adzan subuh berkumandang, memanggil dan berseru agar manusia bangun lalu memulai harinya dengan bersujud kepada Tuhannya. Dalam sujudku yang hening, semua gambar ilusi mulai membayang, menguasai pikiran alam bawah sadar. Ayah yang telah lama sikapnya berubah ternyata menyimpan dendam yang teramat besar atas terbunuhnya kak Ali. Teringat betul saat sore itu Aku sempat membantah dan melawannya. Berkata kasar didepan wajah yang terlihat sangar. Mengulas kejadian itu, tambah pula rasa bersalahku kepadanya. Begitu bodohnya Aku. "Dasar anak yang tak tahu diri..!!", kataku membatin.

     Saat sujud, Aku pun telah bertekad, melanjutkan akan dendam pembalasanmu ayah, serta dendam atas kematian kak Ali. Dendam kematian dua orang yang paling Aku cintai didunia ini. Aku berjanji...

     Hari ini Aku ada jadwal kuliah dikampus, mata kuliah 'Pengantar Kalkulus'. Tepat pukul 08.00 WIB Aku langsung bergegas ke kampus. beberapa helai roti tak habis kumakan, hanya sebagian, sekedar mengganjal perut dan menghargai ibu yang telah menyiapkan semuanya.

     Kuliahku pun usai, sorenya setalah menunaikan sholat ashar di Mushola, Aku pun langsung menuju danau kampus. Entah skenario apalagi yang Tuhan buat, diujung sana terlihat Ririn yang sedang duduk sendiri dibawah rindangnya pepohonan pinggir danau. Jujur saja, akhir-akhir ini rasanya malas sekali bertemu orang-orang, termasuk Ririn sekalipun. Disana, lantas Aku menghampirinya.

     "Haii Rin...", sapaku memulai perbincangan.

     Antara kaget atau cemas karena tak ada satupun orang disini selain dia, dia pun menoleh dan melayangkan pukulannya tepat kearah wajahku. Buughhhhh...!!

     "Astagaaa...!! Haikalll...!! Maaf, maaf... Aku kira tadi hantu atau orang jahat, mangkanya aku memukul. Astagaaa... Maafan Aku yaa kal...", ucapnya dengan rasa penuh penyesalan.

     "Sudah, tak apa-apa kok. Oh ya, kamu lagi ngapain disini? Sendiri lagi...", tanyaku penasaran sambil mengusap-usap pipiku yang sehabis kena one shoot olehnya.

     "Beneran nih gak apa-apa?", tanyanya sekali lagi.

     "Beneran kok.", Jawabku singkat.

     "Huft... Syukur deh... Hehe...", jawabnya sambil sedikit tertawa lega.

     "Kamu belum menjawab pertanyaanku loh Rin...", sambil mengendus napas sedikit kesal.

    "Oh iya yahhh... hehe... Aku disini sedang melamuni kamu Haikal...!! Kamu sudah lebih dua bulan ini kemana aja..!? Kamu gak masuk kuliah, chat Aku pun gak kamu bales, apalagi kamu selama ini gak ngangkat telepon dariku...!! Kamu kemana aja Haikalll...!? Aku cemasss..!!

     Akhirnya ia meluapkan semua rasa penasarannya kepadaku. Terlihat jelas air matanya pun terlinang dan menetes jatuh diatas rerumputan.

     "Sudahlah, kamu tak perlu tahu.", jawabku singkat dan dingin.

     "Apa..!? Ada apa ini Haikal...!? Aku mengkhawatirkanmu, Aku ..."

     Terlalu lambat, Aku pun mendahului kata-kata yang tak sempat ia sampaikan.

     "Kamu tak perlu mengkhawatirkanku. Sekarang kamu jangan terlalu berharap lebih lagi denganku. Aku, Aku ingin hubungan ini kita lupakan saja, Rin..."

     "Kamu... Kamuu... Apa yang kamu katakan Haikalll..!?", tanyanya dengan isakan semakin keras.

     "Aku ingin hubungan kita berhenti sampai disini."

     Perlahan tapi pasti, seolah waktu ini berputar begitu cepatnya. Baru saja Aku memutuskan untuk berbagi cinta bersamanya dan sekarang malah Aku sendiri yang mengatakan untuk melenyapkan cinta yang telah Aku bangun. Sia-sia saja tiga bulan itu. Haha... Dasar bodoh...!!

     "Baik..!! Baik..!! Tapi sebelumnya ada apa Haikal..!?" tanyanya lagi.

     "Aku akan membalaskan dendam kematian ayahku dan Aku sudah mematangkan tekad ini.", balasku.

     "Dasar bodohhh...!! Percuma Haikal, percuma...!! Kamu tak perlu melakukan itu...!!"

     "Kamu yang bodohh...!!", bentakku.

     Suasana saat itu semakin memanas, lalu seketika menjadi hening.

     Masih dengan suasana yang sama, Aku dan dia masih bersitatap, menggenggam akan amarah yang tak terarah...

     "Baik, baiklah Haikal kalau itu yang kamu mau. Kamu pun juga sudah melupakan semuanya. Kamu menggadaikan semuanya, ya semuanya untuk membayarkan akan amarah dendammu, Haikal..." jawabnya sambil meneteskan air mata.

     "Sudahlah Rin, kamu tak pantas menangis disini.", balasku lagi.

     "Sudah Haikalll..!! Sudahhh..!! Aku capekkk..!! Dan mulai hari ini, selamat kamu bukan siapa-siapa lagi bagiku. Itukan yang kamu mauuu...!?" tegasnya penuh kekesalan, lalu memutar arah dan pergi.

     Disana, kuhitung langkah pertamanya yang pergi menjauh dariku. Lambat laun punggung wanita yang pernah kucintai itupun menghilang, pudar ditelan redupnya senja yang rapuh. Senja ini adalah senja terburuk yang pernah kurasakan. Kerapuhannya yang teramat pedih menelan semua asa cinta dan kasih terhadapnya. Ditambah lagi bekas pukulannya dipipiku, menyisakan pilu bukan hanya saja dihati, bahkan dipipi pun juga ikut merasakan. Kehangatan bekas lembut tangannya mulai kuraba seiring dengan tetesan air mata yang jatuh ke tanah lalu menumbuhkan kehidupan baru akan tanaman yang tersimpan didalamnya. Pilihan bodoh dari manusia yang terlanjur bodoh.

     "Inikah yang disebut dengan Bedah Arah..??", tanyaku membatin sekali lagi.

     "Haha... Dasar bodoh...", kuucapkan sekali lagi.




~END

"Tenang ayah, perjuanganmu tak akan pernah sia-sia...!!"

*Cerita akan dilanjutkan dengan judul serial yang berbeda. Pertualangan baru dan kisah-kisah selanjutnya baru saja dimulai...

7 comments:

  1. Gak sabar nunggu kelanjutannya. Semangat !!!!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Siap bang, gua semanget banget nih buat sekuel selanjutnya. Yg paling mendebarkan... Hehe

      Delete
  2. mengapa judulnya "bedah arah"? Bukankah mereka hanya berbeda arah bukan membedah arah?

    Mengapa riindu masih menyisahkan pilu? Bukankah seharusnya rindu menyisakan pilu?

    Mengapa Ririn berkata "mangkanya",apakah Ririn se-tidak baku itu bahasanya?

    Sedikit testimoni, wajar sedikit typo kan belum punya editor. Tapi setidaknya gunakanlah fitur autocorrect agar typo bisa diperiksa...

    Semangat terus kak...

    Dari kami pecandu dunkle wolken

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haiii dari pecandun dunkle wolken, selamat datang.. 😄 wahh makasih bnget dah dikoreksi satu". Jadi mau menjelaskan kenapa & karena apa.
      1. Mengapa "bedah arah" bukan "beda arah"? Karena dri arti kata "bedah" sama halnya itu dg kata "merobek", "sobek", dg kata lain dia (haikal) sudah merubah/merusak/merobek arah yg tlah ia buat bersama dg ririn.
      2. Oh ya bener, "menyisakan" yak, asal kata "sisa".. 😅
      3. "Mangkanya" itu kata baku kok, barusan mimin liat di kbbi online, tpi btw makasih ya udah ngingetin, nambah" kosa kata nih.. hehe
      4. Wahhh.. boleh banget, mimin belom tau mau pakek aps apaan, klo ada rekomendasi, sok atuh kasih tau mimin dongg.. 😄

      Siap kakak" semua.. tetap stay di cerita sekuel berikutnya yakk.. 😊🙏

      Delete
  3. Benarkah dendam membunuh cinta? Tidakkah cinta yang akan membunuh dendam?
    Ditunggu kelanjutan Haikal ya kak Dunkle Wolken..

    ReplyDelete
  4. Wkwkwkwk judul fiksinya di nih tinggal di perbaikin

    ReplyDelete

  5. Ada cinta yg salah, yg tak seharusnya dimulai, krg greget kak, bnyakin scene ririn sma haikalny dong di series brikutnya. Apa haikal dan ririn usai disini dulu?

    ReplyDelete

Post Top Ad

Your Ad Spot