Sebuah catatan kisah diri sendiri
Mencoba mencoret kertas buram dengan tinta hati
Hitam-putih ceria dan gundah tak bosan terus menyelimuti
Tangis tawa pun selalu menghampiri
Hingga benar-benar tangis ini aku jatuh, terhempas, ingin rasanya mati
Mati... Ya mati sebenar-benarnya mati...
Percuma, Aku tak tahan walau biola ini tak henti menghiburku dikala sepi
Walau langit tampak seolah ceria tapi selalu saja ada bayang hitam diri ini
Haruskah aku yang mengalah demi sebuah catatan baru sang Ilahi..??
Haruskah..!? Haruskah..!?
Berdiri, sekali lagi aku mencoba tapi bukan untuk hal ini
Naskah baru lebih layak dari sebuah kenangan sunyi tiada arti
Lebih layak..!! Ya, lebih layak..!!
Cerita ini aku tulis, menarik sebuah kisah antara kenangan atau masa depan. Menguak masa lalu seorang perempuan yang amat cantik dari tempatnya. Perempuan manis layaknya bidadari dunia. Perempuan kuat sekaligus ambisius terhadap tujuannya. Perempuan sederhana yang hanya cukup melantunkan nada biola saja bisa membuat hatinya kembali membaik. Disini, lebih tepatnya kertas cerita ini akan penuh tentang diriku, atau lebih tepatnya "Tentang Ririn".
Ririn Putri Awaliyah, kata ayah nama itu atas usulan kakek dari ayah. Putri pertama layaknya bunga kertas, setia, kuat sekaligus menentramkan. Ya, sebagai anak pertama ditambah lagi dengan nama itu aku dituntut menjadi anak yang kuat dan selalu tegar akan berbagai masalah yang dihadapi. Maka daripada itu, sejak kecil aku diberikan sebuah biola turun-temurun dari keluarga dan diajarinya hingga mahir sampai saat ini.
"Rinnn? Dimana kamu, Nak?" tanya bunda terdengar samar dari ujung dapur sana.
"Iyo bundaaa ... tunggu Ririn sebentar ... Ririn sebentar lagi selesai kok main biolanya." Sambil mencoba menggesek-gesekkan antara senar dan bow biola.
"Ya Allah, Nak..!! Sudahlah, itu dapur belakang masih kotor dan bantu Bunda cuci piring sana!" bentak bunda marah dan meluap seketika.
Lantas, tak berani aku membantahnya. Yah, sedikitpun tidak. Mengingat kenangan buruk lalu, hampir saja biola kesayanganku itu dibanting oleh bunda. "Membantah seenak perutnya," katanya.
***
Bukit Tinggi, 22 April 2012
Disini aku masih menatap pengumuman itu. Selembaran kertas yang dipajang di papan info sekolah itu tlah mencuri perhatianku sedari tadi.
'Lomba Musik Talenta Provinsi, Raih Beasiswa Jutaan Rupiah...!!'
"Lomba yahhh?" gumamku dalam hati.
"Ayoo, Rin! Aku percaya kok kalo kamu bisa ...!!" ucapnya penuh semangat membara.
"Tapi aku takut, Sar." Melirik kearah Sari dengan wajah penuh kecemasan.
"Kalo belum dicoba, ya mana tau, bukan!?" ucapnya sekali lagi.
Sore itu hanya kami berdua yang tersisa di lapangan sekolah, lebih tepatnya lagi didepan papan info SMP kami.
Namanya Sari Indah Pertiwi, sahabatku sedari kecil. Sebuah kebetulan kami memilih SMP yang sama, Katanya sih SMP Negeri 1 Bukit Tinggi adalah SMP favorit atau bisa dikatakan SMP terbaik se-Bukit Tinggi. Hanya katanya sih, aku juga tidak tahu apa alasannya.
Seperti biasa, kami baru saja menginjakkan kaki enam bulan di sekolah ini dan kami pun sudah bergairah mencari lomba-lomba, apapun itu.
"Bagaimana, Rin?" tanyanya sekali lagi.
"Baik, aku akan ikut, Sar. Tapi dengan syarat, kita akan tampil bersama, aku yang akan bermain biola dan kamu yang akan menyanyikannya. Setuju ...?"
"Sangat setuju!" Kami pun saling bersalaman, seolah tanda sepakat diantara kami berdua.
Hari demi hari pun berlalu, tibalah pengumuman kejuaraan lomba tesebut. Jantung semua peserta sepertinya dalam kondisi yang sama, berdegup kencang seirima dengan dentuman bass yang mengiringi MC acara tersebut mengumumkan pemenangnya. Dan momen yang ditunggu pun tiba ...
"Pemenang Juara Pertama ialah ... selamat untuk adek Ririn dan adek Sari ..!!" seru MC tersebut memanggil kami berdua.
Kami pun maju bersama, melangkah kearah yang sama pula. Hari ini aku dan Sari sangat bahagia sekali. Baru saja kami masuk di sekolah ini dan kami pun mampu membawa pulang Piala Juara 1 Lomba Musik Talenta Tingkat Provinsi. Semua guru, teman-teman pun yang hadir sedari tadi hanya duduk diam menikmati tontonan yang disuguhkan, lantas sekarang mereka serentak berdiri lalu bertepuk tangan amat riuh mengisi setiap sudut ruangan auditorium gedung itu ... riuh sekali.
***
Bukit Tinggi, 31 Desember 2016
Waktu telah memakan sebagian usiaku, hingga tak hanya fisik saja yang terlihat beda, tapi juga dengan sifatku, seorang gadis remaja SMA yang telah mengenal apa itu cinta mengubah gaya sosial menjadi bebas yang awalnya masih terbelunggu dari kehidupannya. Seolah paling paham mengenai hak dan kewajiban, aku pun kadang sering membantah apa yang dikatakan ayah-bunda dan siapa sangka kejadian itu, antara ego remajaku dan ego seorang ayah berakhir hingga saat ini aku selalu mengingat dan menyesalinya.
Handpone-ku berbunyi. Seperti biasa siapa lagi kalau bukan chat dari pacar SMA ku saat itu, Roy Jonathan, anak basket SMA ku sekaligus kapten tim yang diidolakan para gadis tanggung sepertiku.
"Haiii sayanggg ..." sapanya di roomchat itu.
"Haiii juga sayang ..." balasku sambil menambahkan emot senyum merona.
"Gimana kabarmu pagi ini? Cerah bukan? Aku tunggu yahhh disekolah, udah gak sabar nih mau ketemu. Tau gak, se-jam aja gak ketemu kamu itu rasanya aku gak bisa fokus ... hehe."
"Ahhh ... masa sih?" Terlentang diatas kasur sambil mengelus-elus pipi meronaku yang sedang jatuh cinta sedalam-dalamnya.
"Oke, ini aku segera berangkat. Kamu tunggu aku yah di sekolah," balasku singkat dan setelah itu aku bersiap untuk berangkat.
Di sekolah, kami berdua tidaklah sekelas. Roy adalah kakak kelasku saat itu, XII IPS 2. Kami sudah jadian kurang lebih tiga bulan lalu, saat dia entah tiba-tiba saja mendatangi kelasku dan dengan beraninya mengatakan cinta didepan orang banyak. Begitulah, sepertinya kalian lebih paham bagaimana kodisi saat itu, saat cinta seolah membutakan arah yang benar.
Sepulang sekolah, dia menghampiriku ... tentu saja ingin mengajakku jalan pastinya.
"Bagaimana?" tanya si Roy.
"Hmm ... bagaimana yah, aku takut, sayang ...."
"Sudahlah, aku jamin orang tuamu pasti mengerti. Ini malam tahun baru loh, sayang. Aku ingin mengajakmu mengelilingi kota ini sambil menikmati indahnya kembang api tahun baru."
"Ta--"
"Sudahlah, jangan pikirkan yang macam-macam. Ayooo berangkattttt ...!!" ucapnya cepat sambil menarik tanganku untuk naik ke atas motornya.
Dan setibanya dirumah, akupun menyesali apa yang telah ku perbuat.
Saat itu hari telah larut dalam kegelapan. Jam tangan menunjukkan angka satu malam, "astaga...!!" pikirku dalam hati.
Pintu itu tak terkunci, lantas ku buka pintu itu sangat hati-hati agar tak menimbulkan suara yang dapat mengganggu ayah bunda.
Ceplaaakkkkk ...!!! Tamparan itu tepat menyasar pipi kananku, membuatku terjatuh, tergeletak diatas lantai ruang tamu.
"Kurang ajarrr kamuu yahhhh ...!!" bentak ayah yang terdengar amat keras.
"Ayah ... maafkan Ririn ..." pintaku sambil menangis.
Ceplaaakkkk ...!!! Kali ini tamparan itu menyasar pipi kiriku. Habis sudah aku malam ini.
"Sudahhh ayahhh ...!!" pinta bunda sambil menangis.
Malam tahun baru yang seharusnya diisi dengan keceriaan dan canda tawa, tapi tidak dengan tahun ini, suara teriak kesakitan yang menyisakan isak tangis teramat dalam. Penyesalan. Tentu saja akibat malam itu, aku dan Roy pun terpaksa putus. Tak ada cinta dalam amarah orang tua. Percuma, tak ada cinta yang baik jika diisi dengan nafsu semata, hanya ingin saling mengisi kerinduan dan kasih sayang yang sudah pasti Tuhan pun tak ridho atas kami. Hingga kami pun pindah ke Jogja lantaran ayah pindah tugas disana. Kami pun terpaksa pindah, terutama aku, meninggalkan semua kenangan indah dikampung ini, teman seperjuanganku, rencana-rencana kami yang ingin berliburan ke Kota Padang pun akhirya kandas dikarenakan pindahan ini, aku pun mengalah dengan keadaan.
Setibanya disana, kami mulai berberes-beres. Membersihkan ini-itu. Menata ini-itu. Rumah kami pun lumayan nyaman, dengan suasana baru yang damai dan tenteram aku bisa menata ulang hati ini untuk seluruh cinta-cinta masa lalu saat itu. Besoknya aku mencoba mengeliling daerah sekitar dan benar saja, aku menemukan embung yang amat indah disini ditambah suasana sore yang amat menenteramkan. Aku menatap langit, segera ku ambil biola klasikku itu. Memainkan satu-dua lagu dipinggir embung itu membuat hati ini sangatlah nyaman. Tiba-tiba terdengar suara samar dibelakangku dan benar saja, disana terlihat soerang laki-laki yang sedang mengintip dibalik rindangnya alang-alang.
"Heiii ...!?" Segera kupanggil laki-laki itu agar keluar dibalik sembunyian diantara alang-alang.
"Hahaha ... Oh ya, namaku Haikal Gunawan, kamu bisa panggil aku Haikal. Gampang bukan?" sapanya sambil menjulurkan tangannya kepadaku.
Laki-laki itu ternyata memiliki sifat humoris yang lumayan sehat. Hampir-hampir saja membuatku tertawa terbahak-bahak olehnya. Haikal Gunawan, laki-laki pertama yang kukenal disini ternyata menyimpan rasa rindu dilubuk hatiku ini. "Rasa apalagi ini ya, Tuhan?" tanyaku penuh tanda tanya.
Seolah Tuhan tak pernah bosan memberi cerita sedih dalam hidupku, Ia pun menuliskan naskah yang teramat sedih waktu itu. Di pinggir danau kampus itu ia tiba-tiba menghampiriku dimana tlah sekian lama aku tak berjumpa olehnya. Namun, mungkin inilah cerita yang dituliskan oleh Tuhan, cerita antara air mata dan tetesan air hujan. Seolah hanya mimpi, tapi sekali lagi ini sungguh adanya. Ia memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami, sebuah hubungan berawal dari air mata sayang, ditutup dengan air mata tangisan. Perempuan mana yang tak sedih, laki-laki pujaan hatinya memutuskan untuk berhenti memeluknya dalam dekapan senja. Berhenti untuk selamanya.
"Sudah Haikalll ...!! Sudahhh ...!! Aku capekkk ...!! Dan mulai hari ini, selamat kamu bukan siapa-siapa lagi bagiku. Itukan yang kamu mauuu ...!?" tegasku penuh kekesalan, lalu memutar arah dan pergi.
Saat itu aku berharap dia memutar balik, menahan langkahku untuk pergi. Tapi catatan Tuhan tidak begitu, ia masih tetap berdiri kokoh di pinggir danau itu, tak peduli dengan aku yang telah meninggalkan jejak air mata atau pun dengan langit mendung yang telah meninggalkan jejak air hujannya.
"Aku pergi, mungkin takkan kembali lagi. Maafkan aku Tuhan ..."
***
Di atas jembatan sungai itu aku menangis sejadi-jadinya. Aku tak tahu lagi akan melangkah ke arah yang mana. Semuanya sudah selesai, maafkan aku ...
To be Continue...
"Tenang ayah, perjuanganmu tak akan pernah sia-sia ...!!" gumamku membatin.


Lanjutkan om fik
ReplyDeleteSiapp om HQQH yg ganteng dri kantor sebelah.. hehe, doain biar smngat trus buat nulisnya.. hehe 😄
DeleteTeruslah bekarya pik .. ���� good job
ReplyDeleteSiap om.. tapi aku gk tau kamu siapa kakak.. 😅🙏
Delete