Di tempat tanpa cahaya
Di tempat tanpa garis-garis ceria
Di tempat tanpa adanya harapan datang menerpa
Di situlah tempat tersunyi tanpa arti dan tanpa asa
Aku bergerak tapi tak melihat
Aku pun berbicara tapi hanya sendiri
Begitupun sekarang...
Aku memeluk tapi hampa dan kosong, akhirnya pun memeluk sendiri
Ayah, Aku rindu saat itu kita saling tertawa
Saat kita seling bercanda
Saat kita saling melepas beban dunia
Namun kau telah pergi, istirahatlah disana
Biarkan Aku yang melanjutkan semua tekad yang sempat tertunda...
Walaupun akhirnya Aku tetap saja hanya bisa berbicara dengan omong kosong yang besar
"Siap bu!" kataku tegas seolah paham apa yang dimaksudnya.
"Haikal, kamu benar-benar sudah tak bersedih lagi, bukan?" tanya Bu dosen sedikit ragu.
"Alhamdulillah, sudah sedikit berkurang, bu. Maaf bu, kira-kira tugas ini deadlinenya kapan ya bu?" Sambil mengambil beberapa buku diatas meja bu Fatma.
"Minggu depan. Jika kamu sudah siap, kamu bisa mengumpulkannya rabu depan yah, soalnya senin-selasa jadwal Ibu sangat padat. Bisakan kamu Haikal?" tanya Bu Fatma sekali lagi dengan nada yang amat lembut sambil tersenyum manis didepanku.
"Bis ... bisa kok, Bu ..." jawabku terbata-bata ketika melihat senyumnya yang amat manis itu.
"Baiklah, Saya tunggu yah rabu depan. Kalau Haikal ada yang perlu ditanyakan, nanti kamu bisa chat saya aja kok ..." balasnya.
Setelah obrolan manis-manis itupun usai, Bu Fatma pun segera keluar ruangan mengingat jam mengaajarnya pun sudah usai. Aku mengiringinya menuju pintu keluar hingga dirinya hampir tak terlihat lagi dari ujung sana.
Bu Fatma merupakan dosen baru dikampus ini. Dari pengenalan beliau sejak pertama kali bertemu, dirinya merupakan satu-satunya dosen termuda disini dan rencananya akhir tahun ini dia pun akan melanjutkan pendidikan S3 nya di kampus Oxford University, Inggris. Sebagai tugas akhir atau bisa disebut juga tugas kenangan sebelum keberangkatannya, ia pun memberikan tugas tentang penelitian atas Big Data Internastional yang biasa dipakai diseluruh perbankan setiap negara.
Sore itu Aku pulang, sebelum pulang ingin rasanya Aku mampir ke makam ayah. Sempat ragu rasanya karena hari ini sudah semakin gelap. Tapi yah sudahlah, mungkin selepas sholat Isya Aku akan mampir kesana, mungkin hanya mampir sebentar sedikit berbagi cerita hari ini, cerita tentang ibu dosen muda yang amat cantik, tentang tugas-tugas kampus yang menumpuk, hingga tentang putusnya hubunganku dengan perempuan yang dulu amat ku cintai, siapa lagi kalau bukan tentang Ririn. Segera kunyalakan motor kesayangaku itu, motor dengan merk Honda CBR 250R itu lantas melaju kencang diatas jalanan yang basah akibat hujan tadi siang.
Di depan makam, dengan ukuran 1,5 x 2,5 meter itu Aku meratapi tulisan yang ada dibatu nisan, bertuliskan Ibrahim Rifky Gunawan, wafat pada tanggal 3 Oktober 2019, Yogyakarta. Tak lama Aku pun mulai bercerita semuanya, semua kegelisahan yang terpendam dalam batin. Belum usai Aku menceritakannya semua, air mata ini justru telah jatuh lebih dulu membasahi tanah lembab karena dinginnya malam.
"Ayah ..." isakku terderang tipis.
"Aku tak tahu kepada siapa lagi menceritakan kejadian semua ini. Ibu sejak kepergian ayah selalu saja murung didalam kamar. Kau tahu Ayah, ia bahkan pernah tak makan seharian. Aku sedih Ayah ...." Seketika Aku pun duduk, menangis sejadi-jadinya di depan makam itu.
"Aku tahu, Aku tidak bisa sepertimu, kuat dalam segala hal walaupun Aku tahu kau pun juga pernah rapuh saat sepeninggalan kak Ali. Ayah ... aku yakin kau juga akan mengerti disana. Sejak saat ini Akulah yang akan menjaga Ibu dan Aku pun berjanji akan melanjutkan perjuanganmu mencari tahu siapa pembunuh bejat itu. Aku berjanji, Ayah ...." tekadku, sambil menggenggam erat-erat batu nisan makam itu.
Setelah usai semua curhatan yang kuceritakan kepadanya, Aku pun berdiri lalu berbalik arah menuju pulang. Sempat kaget dibuatnya, sesosok pria berjubah hitam dengan menggunakan penutup kepala berdiri tegap tepat dibawah pohon beringin besar itu. Entahlah, rasanya seolah dia memperhatikanku sejak Aku berada disini. Tapi yasudahlah, lantas Aku segera pergi tanpa menoleh kearah pria besar berjubah hitam sedikit pun. Sambil melangkah agak cepat tapi santai agar tak terlihat seperti Aku sedang ketakutan ataupun terburu-buru. Sejak kunjungan ke makam Ayah, Aku pun memulai penulusaran siapa dibalik pembunuhannya maupun kak Ali. Ya, Aku telah berjanji didepan makam orang yang paling kusayangi, didepan makam Ayah.
Sore itu Aku pulang, sebelum pulang ingin rasanya Aku mampir ke makam ayah. Sempat ragu rasanya karena hari ini sudah semakin gelap. Tapi yah sudahlah, mungkin selepas sholat Isya Aku akan mampir kesana, mungkin hanya mampir sebentar sedikit berbagi cerita hari ini, cerita tentang ibu dosen muda yang amat cantik, tentang tugas-tugas kampus yang menumpuk, hingga tentang putusnya hubunganku dengan perempuan yang dulu amat ku cintai, siapa lagi kalau bukan tentang Ririn. Segera kunyalakan motor kesayangaku itu, motor dengan merk Honda CBR 250R itu lantas melaju kencang diatas jalanan yang basah akibat hujan tadi siang.
Di depan makam, dengan ukuran 1,5 x 2,5 meter itu Aku meratapi tulisan yang ada dibatu nisan, bertuliskan Ibrahim Rifky Gunawan, wafat pada tanggal 3 Oktober 2019, Yogyakarta. Tak lama Aku pun mulai bercerita semuanya, semua kegelisahan yang terpendam dalam batin. Belum usai Aku menceritakannya semua, air mata ini justru telah jatuh lebih dulu membasahi tanah lembab karena dinginnya malam.
"Ayah ..." isakku terderang tipis.
"Aku tak tahu kepada siapa lagi menceritakan kejadian semua ini. Ibu sejak kepergian ayah selalu saja murung didalam kamar. Kau tahu Ayah, ia bahkan pernah tak makan seharian. Aku sedih Ayah ...." Seketika Aku pun duduk, menangis sejadi-jadinya di depan makam itu.
"Aku tahu, Aku tidak bisa sepertimu, kuat dalam segala hal walaupun Aku tahu kau pun juga pernah rapuh saat sepeninggalan kak Ali. Ayah ... aku yakin kau juga akan mengerti disana. Sejak saat ini Akulah yang akan menjaga Ibu dan Aku pun berjanji akan melanjutkan perjuanganmu mencari tahu siapa pembunuh bejat itu. Aku berjanji, Ayah ...." tekadku, sambil menggenggam erat-erat batu nisan makam itu.
Setelah usai semua curhatan yang kuceritakan kepadanya, Aku pun berdiri lalu berbalik arah menuju pulang. Sempat kaget dibuatnya, sesosok pria berjubah hitam dengan menggunakan penutup kepala berdiri tegap tepat dibawah pohon beringin besar itu. Entahlah, rasanya seolah dia memperhatikanku sejak Aku berada disini. Tapi yasudahlah, lantas Aku segera pergi tanpa menoleh kearah pria besar berjubah hitam sedikit pun. Sambil melangkah agak cepat tapi santai agar tak terlihat seperti Aku sedang ketakutan ataupun terburu-buru. Sejak kunjungan ke makam Ayah, Aku pun memulai penulusaran siapa dibalik pembunuhannya maupun kak Ali. Ya, Aku telah berjanji didepan makam orang yang paling kusayangi, didepan makam Ayah.
***
Hampir sebulan sudah aku bekutat dengan berbagai hal dalam penelusuran pelaku pembunuhan tersebut, tapi tetap saja hasilnya nihil. Berbagai macam cara dari mencoba menghubungi rekan kerjanya ditempat kerjanya dulu hingga mencoba-coba menelusuri jejak mafia indonesia di internet, hasilnya sama saja, nol besar ...!!
Esoknya, di Cafe itu ramai sekali dengan orang yang tak satupun kukenali. Siang ini sengaja Aku duduk disini karena sedang menunggu seseorang yang mungkin bisa memecahkan misteri siapa komplotan si pembunuh itu. Tak butuh waktu lama menunggunya, tepat waktu yang telah dijanjikan orang itupun datang.
"Permisi, maaf, kamu Haikal Gunawan, kan?" tanyanya sambil menunduk dan mengarah kearah ku.
"Hmm ... Eh ... Maaf, Iii ... Iyaaa ...." jawabku terbata-bata.
Tak kusangka orang yang kutemui adalah sesosok perempuan amat cantik, putih tinggi dan manis. Bisa kutebak berapa umurnya, kurang lebih seumuran denganku. "Mungkin ..." Pikirku dalam hati.
"Oh, akhirnya ... Hufttt ... Maaf yah Saya agak telat, biasanya Saya sudah ready lima menit sebelum waktu yang dijanjikan. Hehe ... Biasalah, mungkin sudah terbiasa oleh tuntutan pekerjaan." perempuan segera duduk didepanku sambil menyeruput coffee ditangannya yang ia bawa sendiri.
"Oh iya, sampai lupa Saya ... Perkenalkan nama Saya Gina Priska Alexandra. Hm ... Mungkin kamu bisa panggil Saya Gina." segera ia mengulurkan tangannya kepadaku.
"Baik, nama Saya Haikal Gunawan. Kakak bisa panggil Haikal." ragu rasanya membalas uluran tangannya, sedikit canggung. Tapi yasudahlah, tak sopan rasanya jika tak membalas uluran tangannya.
"Hahaha ... Jangan panggil Saya kakak dong ... Kayak udah tua aja nih sayanya ...." balasnya dengan ketawa yang terlihat tetap manis itu.
"Hehe ... Habis, tak sopan rasanya jika Saya harus memanggil nama." balasku malu-malu sambil menggaruk-garus belakang kepala.
"Yasudah, terserah kamu aja deh. Tapi benar juga, toh Saya yang lebih tua. Umur Saya tiga puluh tiga tahun"
"Astaga ..! Yang benar saja, tak mungkin rasanya kak Gina itu berumur tiga puluh tiga tahun, rasanya ia hampir mirip berumur dua puluh lima atau dua puluh tujuh tahun." balasku dalam hati sambil menggumel tak yakin.
Disana kami pun mulai berbincang-bincang. Mengawali sedikit basa-basi, mengenalkan bagaimana kehidupan kampusku, jurusan apa dan sudah semester berapa. Begitupun dengan dia, lengkap sudah hasil paparannya. Ia memaparkan secara kompleks dengan waktu yang sesingkat-singkatnya, rasanya sudah biasa saja memaparkan sesuatu dengan para audience-nya.
Hampir satu jam kami berbincang tentang pribadi kami masing-masing. Lantas ia pun segera memulai pertanyaan yang seharusnya dibahas dipertuan kali ini.
"Jadi, apa yang bisa Saya bantu, Haikal?" tanyanya terus terang.
"Saya ingin tahu, seberapa dekat kak Gina dengan Ayah Saya. Secara, dulu kak Gina sempat menjadi Asisten Tim Penyidikan Polri saat Ayah bertugas di Bandung lalu." tanyaku serius kepadanya.
"Yahhh ... Mungkin sangat dekat, dalam artian dekat sebagai bawahan dalam tugas. Oh iya, Saya baru ingat kamu itu yang dulu sempat dibawa Ayahmu ke kantor, bukan? Astaga, sudah sangat lama rasanya yahhh ...." balasnya senyum kepadaku.
"Iii ... Iyahhh ... Hehe, iya kak sudah lama rasanya." pura-pura Aku segera menyeruput kopi yang ada diatas mejaku. Betapa malunya Aku menyadari cangkir kopi ku itu telah lama habis sedari tadi. Lantas ia pun tertawa tipis melihat salah tingkah yang kulakukan.
"Hahaha ... Sudah, sudah, tak perlu kamu salting gitu donggg ... Bawa santai saja." balasnya.
Tambah merah rasanya muka ini menanggung malu. Ditengah percakapan kami, tiba-tiba dia pun menaruh tas merah diatas meja itu.
"Ini, mungkin kamu lebih memerlukan ini daripada kami. Ini adalah tas milik Ayahmu saat bertugas di Bandung dulu. Disana banyak arsip-arsip lama yang seharusnya ada di setiap polisi. Mungkin disana juga ada arsip-arsip temuan penyidikan atas pembunuhan kakakmu itu. Saya tak tahu persis apa isinya, karena Saya tak mengerti betul penyidikan yang dilakukan sendiri oleh Ayahmu itu, Haikal"
"Oh ya, disana ada buku catatan lama. Mungkin kamu lebih berhak mengetahuinya. Saranku, lebih baik kamu mencari tahu dari catatan-catatan dan arsip yang ada di tas merah tua itu. Sisanya, jika ada yang perlu ditanyakan, jangan sungkan hubungi Saya." jelasnya sambil menyeruput kopi kedua kalinya.
"Baik ... Terima kasih banyak, kak Gina. Nanti setiba dirumah Saya akan segera mencari tahu tentang tas merah tua ini." balasku senyum kepadanya.
Masih cerita di cafe itu. Kami pun saling berbagi cerita apapun yang kami tahu. Latar belakang kehidupan kak Gina maupun kekasihnya saat ini yang katanya asli Jogja. Obrolan kami makin lama makin cair. Tak ada lagi malu-malu, apalagi malu-maluin. Rasanya pertemuan singkat ini, kak Gina sudah kuanggap kakak sendiri. Tapi tak kuceritakan kehidupan asmaraku bersama Ririn saat dulu, terlalu cepat jika diceritakan sekarang.
Hari semakin sore, pengunjun cafe pun makin lama makin ramai. Biasalah, namanya juga malam minggu. Semakin malam semakin asik buat ngofee.
"Hmm ... Rasanya sudah sore nih, kakak pamit pulang dulu ya. Ntar malem jadwalnya calon kakakmu itu bertemu Saya. Hehe ...." tawanya sedikit lepas.
Sedikit obrolan basa-basi diakhir pertuman kami sore ini. Kami pun bersalaman dan saling pulang menuju rumah masing-masing.
Sesampainya dirumah, rumah itu masih saja dengan suasana hening dan penuh kesedihan. Seperti biasa, kusempatkan melihat Ibu dikamar, ternyata ia sedang tidur lelap diatas ranjangnya. Yasudah, lantas Aku pergi menuju kamar pribadiku. Diatas ranjang sambil memegang tas merah tua itu ...
"Bismillahhh ... Semoga seluruh petunjuknya ada di tas merah tua ini. Mudahkanlah ya Allah." pintaku berdoa kepada-Nya.
Sedikit ragu, sedikit bimbang, Aku pun segera membuka resleting tas merah tua itu. Hingga kutemukan buku catatan tua yang diceritakan kak Gina tadi sore.
"Aa ... Aa ... Ayaahhhh ..." gemetar rasanya tangan ini tuk mengambil buku itu. Tanpa sadar, setetes dua tetes air mata bercucuran jatuh. Dan Aku pun menangis ...
To be Continue...
"Kak Ginaaa ..!! Bisakah kita bertemu besok sore?! Ini penting, sangat penting ..!!, kutuliskan pesan singkat itu kepadanya.
"Permisi, maaf, kamu Haikal Gunawan, kan?" tanyanya sambil menunduk dan mengarah kearah ku.
"Hmm ... Eh ... Maaf, Iii ... Iyaaa ...." jawabku terbata-bata.
Tak kusangka orang yang kutemui adalah sesosok perempuan amat cantik, putih tinggi dan manis. Bisa kutebak berapa umurnya, kurang lebih seumuran denganku. "Mungkin ..." Pikirku dalam hati.
"Oh, akhirnya ... Hufttt ... Maaf yah Saya agak telat, biasanya Saya sudah ready lima menit sebelum waktu yang dijanjikan. Hehe ... Biasalah, mungkin sudah terbiasa oleh tuntutan pekerjaan." perempuan segera duduk didepanku sambil menyeruput coffee ditangannya yang ia bawa sendiri.
"Oh iya, sampai lupa Saya ... Perkenalkan nama Saya Gina Priska Alexandra. Hm ... Mungkin kamu bisa panggil Saya Gina." segera ia mengulurkan tangannya kepadaku.
"Baik, nama Saya Haikal Gunawan. Kakak bisa panggil Haikal." ragu rasanya membalas uluran tangannya, sedikit canggung. Tapi yasudahlah, tak sopan rasanya jika tak membalas uluran tangannya.
"Hahaha ... Jangan panggil Saya kakak dong ... Kayak udah tua aja nih sayanya ...." balasnya dengan ketawa yang terlihat tetap manis itu.
"Hehe ... Habis, tak sopan rasanya jika Saya harus memanggil nama." balasku malu-malu sambil menggaruk-garus belakang kepala.
"Yasudah, terserah kamu aja deh. Tapi benar juga, toh Saya yang lebih tua. Umur Saya tiga puluh tiga tahun"
"Astaga ..! Yang benar saja, tak mungkin rasanya kak Gina itu berumur tiga puluh tiga tahun, rasanya ia hampir mirip berumur dua puluh lima atau dua puluh tujuh tahun." balasku dalam hati sambil menggumel tak yakin.
Disana kami pun mulai berbincang-bincang. Mengawali sedikit basa-basi, mengenalkan bagaimana kehidupan kampusku, jurusan apa dan sudah semester berapa. Begitupun dengan dia, lengkap sudah hasil paparannya. Ia memaparkan secara kompleks dengan waktu yang sesingkat-singkatnya, rasanya sudah biasa saja memaparkan sesuatu dengan para audience-nya.
Hampir satu jam kami berbincang tentang pribadi kami masing-masing. Lantas ia pun segera memulai pertanyaan yang seharusnya dibahas dipertuan kali ini.
"Jadi, apa yang bisa Saya bantu, Haikal?" tanyanya terus terang.
"Saya ingin tahu, seberapa dekat kak Gina dengan Ayah Saya. Secara, dulu kak Gina sempat menjadi Asisten Tim Penyidikan Polri saat Ayah bertugas di Bandung lalu." tanyaku serius kepadanya.
"Yahhh ... Mungkin sangat dekat, dalam artian dekat sebagai bawahan dalam tugas. Oh iya, Saya baru ingat kamu itu yang dulu sempat dibawa Ayahmu ke kantor, bukan? Astaga, sudah sangat lama rasanya yahhh ...." balasnya senyum kepadaku.
"Iii ... Iyahhh ... Hehe, iya kak sudah lama rasanya." pura-pura Aku segera menyeruput kopi yang ada diatas mejaku. Betapa malunya Aku menyadari cangkir kopi ku itu telah lama habis sedari tadi. Lantas ia pun tertawa tipis melihat salah tingkah yang kulakukan.
"Hahaha ... Sudah, sudah, tak perlu kamu salting gitu donggg ... Bawa santai saja." balasnya.
Tambah merah rasanya muka ini menanggung malu. Ditengah percakapan kami, tiba-tiba dia pun menaruh tas merah diatas meja itu.
"Ini, mungkin kamu lebih memerlukan ini daripada kami. Ini adalah tas milik Ayahmu saat bertugas di Bandung dulu. Disana banyak arsip-arsip lama yang seharusnya ada di setiap polisi. Mungkin disana juga ada arsip-arsip temuan penyidikan atas pembunuhan kakakmu itu. Saya tak tahu persis apa isinya, karena Saya tak mengerti betul penyidikan yang dilakukan sendiri oleh Ayahmu itu, Haikal"
"Oh ya, disana ada buku catatan lama. Mungkin kamu lebih berhak mengetahuinya. Saranku, lebih baik kamu mencari tahu dari catatan-catatan dan arsip yang ada di tas merah tua itu. Sisanya, jika ada yang perlu ditanyakan, jangan sungkan hubungi Saya." jelasnya sambil menyeruput kopi kedua kalinya.
"Baik ... Terima kasih banyak, kak Gina. Nanti setiba dirumah Saya akan segera mencari tahu tentang tas merah tua ini." balasku senyum kepadanya.
Masih cerita di cafe itu. Kami pun saling berbagi cerita apapun yang kami tahu. Latar belakang kehidupan kak Gina maupun kekasihnya saat ini yang katanya asli Jogja. Obrolan kami makin lama makin cair. Tak ada lagi malu-malu, apalagi malu-maluin. Rasanya pertemuan singkat ini, kak Gina sudah kuanggap kakak sendiri. Tapi tak kuceritakan kehidupan asmaraku bersama Ririn saat dulu, terlalu cepat jika diceritakan sekarang.
Hari semakin sore, pengunjun cafe pun makin lama makin ramai. Biasalah, namanya juga malam minggu. Semakin malam semakin asik buat ngofee.
"Hmm ... Rasanya sudah sore nih, kakak pamit pulang dulu ya. Ntar malem jadwalnya calon kakakmu itu bertemu Saya. Hehe ...." tawanya sedikit lepas.
Sedikit obrolan basa-basi diakhir pertuman kami sore ini. Kami pun bersalaman dan saling pulang menuju rumah masing-masing.
Sesampainya dirumah, rumah itu masih saja dengan suasana hening dan penuh kesedihan. Seperti biasa, kusempatkan melihat Ibu dikamar, ternyata ia sedang tidur lelap diatas ranjangnya. Yasudah, lantas Aku pergi menuju kamar pribadiku. Diatas ranjang sambil memegang tas merah tua itu ...
"Bismillahhh ... Semoga seluruh petunjuknya ada di tas merah tua ini. Mudahkanlah ya Allah." pintaku berdoa kepada-Nya.
Sedikit ragu, sedikit bimbang, Aku pun segera membuka resleting tas merah tua itu. Hingga kutemukan buku catatan tua yang diceritakan kak Gina tadi sore.
"Aa ... Aa ... Ayaahhhh ..." gemetar rasanya tangan ini tuk mengambil buku itu. Tanpa sadar, setetes dua tetes air mata bercucuran jatuh. Dan Aku pun menangis ...
To be Continue...
"Kak Ginaaa ..!! Bisakah kita bertemu besok sore?! Ini penting, sangat penting ..!!, kutuliskan pesan singkat itu kepadanya.


Hai, tulisannya udah lumayan rapih nih..
ReplyDeleteNanti typo diperhatikan lagi yaa..
Secara keseluruhan udah oke. Ditunggu kelanjutannya...
Critany makin mnarik nih bang. Kereen, ditunggu kelanjutannya...
ReplyDelete