Sadarkah Aku, betapa bodohnya ini
Menyia-nyiakan waktu yang terjadi
Berpura-pura tidak tahu akan semua tragedi
Hingga akhirnya, Aku pun tahu lilin itu takkan pernah menyala jika tak ada api
Aku menyesali akan semua langkah bodoh yang pernah kujalani
Tutup mata, tutup hati
Egois, memikirkan diri sendiri
Ya, Aku egois, mencempakkanmu lalu pergi
Tuhan... Masihkah ada jalan untukku berlari?
Atau setidaknya cukup untuk membalas dosa diri ini
Masih adakah, Tuhan!? Masih adakah..!?
Pesan masuk itu telah mencuri perhatian kami, meratap dan berpikir keras. Siapakah dalang semua ini!?
"Gilaaa ..!! Kamu tahu siapa orang yang mengirimkan pesan ini padamu, Kal?" tanya Dana dengan wajahnya yang mulai serius.
"Tidak! Aku tidak tahu siapa yang mengirimkan pesan singkat ini. Menurut kalian Aku harus bagaimana?" Aku mulai panik dan mengkhawatirkan akan semua kemungkinan-kemungkinan yang ada. Pesan singkat itu dikirimkan dengan nada ancaman, Aku yakin orang yang mengirimkannya tidaklah sedang bercanda. Semuanya pasti ada kaitannya dengan para mafia itu.
"Kita datangi saja, bagaimana? Kita penuhi semua keinginannya." balas Krisna penuh semangat.
"Kalau saja pelakunya adalah anak mahasiswa di sini, akan kubocorkan kepalanya!" geram Dana.
"Lalu, Aku harus menjawab apa untuk membalas pesan ini?" tanyaku semakin panik.
Seketika, dengan cepatnya Krisna pun mengambil ponsel itu dari genggamanku, cepat sekali.
"Orang yang begini jangan dibiarkan, nanti kita bisa dianggap remeh oleh mereka." balas Krisna yang mulai kesal.
'Hei, apa maumu? Dan siapa Kamu!?' kami segera mengirim pesan itu.
Lama kami menunggu balasan pesan singkat itu. Tak ada kabar, lalu kami pun mengirim pesan lagi ke nomor yang sama.
'Dimana Aku harus berjumpa denganmu. Kalau Kamu berani-beraninya menyakitinya, jangan harap Kamu bisa lari dari dunia ini!'
"Astagaaaaa ..!!! Apa yang Kamu tuliskan tadi sih, Kris ..!?" bentakku pada Krisna.
"Sudahlah, Kal. Kita lihat saja apa tanggapannya, jika dia ingin mengarahkanmu untuk ketemu dengan mereka, pastinya mereka akan mengirimkan alamatnya agar kamu pergi ke sana."
'Salah satu Gedung Tua, tepat di atas puncak Embung Batara Sriten'
"Embung Batara Sriten? Bukannya itu adalah tempat Aku dan Ririn pertama kali berjumpa?" pikirku dalam hati.
"Bagaimana, Kal?" tanya Dana sekali lagi.
"Ayo kita berangkat!" perintahku tanpa ragu sedikitpun.
Aku, Dana dan Krina pun bergegas menuju rumah masing-masing. Kami bertiga menyiapan berbagai peralatan, baik itu senjata untuk perlindungan, obat-obatan maupun uang untuk jaga-jaga. Adapun Aku sendiri, sudah barang tentu akan mengabarkan pesan ini kepada kak Gina. Sudah kewajiban kak Gina harus tahu tentang ini, untuk berjaga-jaga, Akupun mengirimkan alamat dan rencana kami untuk berjumpa dengan mereka.
"Kau yakin, Haikal?" tanya kak Gina melalui via telepon.
"Aku sudah sangat yakin, kak. Aku sangat takut jika yang mereka tahan adalah Ririn. Aku punya firasat buruk terhadapnya." balasku kepadanya.
"Baiklah, untuk sementara kalian bertiga silakan lanjut saja pergi ke sana, sedangkan Saya akan mengabarkan berita ini kepada atasan. Setelah itu Kami akan segera menuju ke lokasi tersebut. Berhati-hatilah, usahakan Kau bawa semua peralatan untuk perlindungan kalian. Di laci kamar Ayahmu, rasanya di sana ada pistol, pisau atau apapun itu, gunakan saja untuk berjaga-jaga." jelas kak Gina lengkap.
"Baik, kak. Tenang, Kami akan baik-baik saja. Serahkan semuanya kepada kami. Oh ya, tolong jangan beritahu Ibu tentanng rencana ini. Aku takut jika dia khawatir." pintaku.
"Baiklah!" balasnya singkat.
***
Ingatan tentang masa lalau itu kembali terbentang di dalam pikiran ini ...
Di Embung itu, saat senja menepati janjinya, saat itu pula awal kami berjumpa ...
Saat itu Aku pergi ke Embung, mencoba menyusup untuk menghilangkan rasa penasaranku. Dari balik ilalang, terlihat seorang perempuan yang sedang berdiri dan meletakkan sebuah kotak kayu itu di atas bahunya. Lantas ia segera bermain, menggesekkan antar dua kayu dan senar dan menghasilkan nada-nada indah. "Apakah ini magic?" pikirku membatin.
"Heiii ..!?" dia menoleh kearahku.
Gawat ..!! Tak sadar lidah ini menyanyikan lagu yang ia mainkan, membuat diriku ketahuan akan ada keberadaan yang dari tadi mengawasinya.
"Heii ..?" muka canggung penuh rasa bersalah sambil menatap tanah.
"Maaf, aku mengganggumu... Aku hanya terpana melihat kamu bermain dengan kotak kayu itu." balasku penuh alasan.
Terpaksa sebagai laki-laki aku menghampirinya, lalu berterus terang kepadanya.
"Sejak kapan kamu melihatku?" tanyanya tegas.
"Sejak senja hampir menyilaukan mataku saat melihatmu", balasku.
"Hahaha... Kamu terlalu puitis... Btw, thanks yaa sudah memujiku tadi. Ini yang kamu sebut kotak kayu namanya biola, salah satu alat musik yang sering dimainkan oleh bangsa eropa".
Tawa-tawa kami pun pecah, berbagai lelucon siling berganti kami lontarkan. Aku merasakan ada hal yang berbeda darinya, sebuah kecocokan diantara kami berdua. Entahlah apa itu, rasanya nyaman saja jika Aku berlama-lama dengan dirinya. Mendengarkan lantunan biola yang ia mainkan lalu menikmati indahnya lukisan Tuhan dibalik redupnya cahaya senja yang ingin berganti malam. Terlalu nyaman.
"Hay, namaku Ririn ... Senang berjumpa denganmu ..."
Hampir terpana aku melihat senyuman indahnya. Amat menyilaukan, sumpaahhh..!!
"Heeyyyy ..!?" dia mencoba menyadarkanku dengan melambaikan tangannya tepat dimukaku.
"Oh ... Haha ... Sorry, sorry, tadi Aku terpana soalnya melihat bidadari amat cantik tepat di depanku..." balasku dengan gombalan-gombalan jitu.
"Hmm... Sepertinya jika kita sering mengobrol begini, bisa-bisa Aku akan meleleh layaknya ice cream yang diterpa teriknya siang hari" balasnnya dengan sedikit senyum-senyum malu.
"Hahaha ... Oh ya ... Namaku Haikal Gunawan, Kamu bisa panggil Aku Haikal. Gampang, bukan..??", Aku membalas jabatan tangan halusnya itu.
Pertemuan pertama kali itu mengawali kisah kami. Esoknya, kami berpacaran. Menjalani hari-hari bersama, mengerjakan tugas hingga menghilangkan penat bersama akan banyaknya mata kuliah ini. Di Embung itu mengajarkanku akan sebuah kesetiaan dan keniscayaan menjadi satu. Kami saling berbagi, bercerita satu sama lain. Hingga akhirnya, langkah bodoh itu memisahan Aku dengannya. Ya, langkah bodoh yang paling kusesali seumur hidup. Aku takut, sangat takut jika terjadi sesuatu kepadanya. Apakah Kamu sedang baik-baik saja, Rin? Jawab pertanyaanku ini, Rin ... Tolong jawablah ...
***
Aku menangis. Tetesan air mata itu lambat laun membasahi keramik kamar Ayah. "Aku sangat menyesal." sesalku dalam hati.
Dibalik dilemanya masalah yang kuhadapi, entah bayang-bayang akan kenangan masa lalu dengan Ririn itupun selalu saja membayangiku. Kenangan-kenangan manis, lelah sekali rasanya saat mengulas kembali cerita saat itu.
Tepat didepanku terdapat laci kecil di meja kerja kamarnya. Sesuai petunjuk Kak Gina, benar laci itu yang disebutkannya. Lantas, segera kutarik laci tersebut. Ternyata laci itu tak dikunci, mudah saja Aku menariknya.
Kreekkkkk ...
Terbuka!! Dan benar saja, Aku sangat terkejut setelah melihat isi di dalam laci tersebut.
Sebuah pistol dengan jenis Colt 1911 berwarna keemasan lengkap dengan amunisi hampir memenuhi ruang laci kecil itu. Aku sedikit tahu mengenai jenis-jenis pistol maupun senjata laras panjang lainnya. Dibalik latar belakang pekerjaan Ayah, Aku juga mengetahuinya dari berbagai game yang pernah kumainkan. Pistol dengan jenis Colt 1911 merupakan pistol yang dipakai lebih dari 70 dekade. Dengan desain cukup tua, pistol ini terlihat klasik jika dimasa sekarang. Pistol ini pun memiliki ruang untuk 7 buah peluru dan setiap pelurunya bisa dimuntahkan dengan kecepatan 1.225 kaki per detik. Di dalam laci itupun juga terdapat sebuah pisau berwarna silver dengan dibungkus oleh kain tebal berwarna hitam keabu-abuan.
"Waawww ... Ini semacam harta karun. Baru pertama kali ini Aku menemukannya dan mengambilnya." ucapku secara spontan.
Tak butuh waktu lama, kuambil pistol, pisau dan amunisi peluru tersebut ke dalam ransel milikku. Kucoba mencari-cari laci lainnya, hanya ada obat-obatan, perban dan berbagai barang medis lainnya.
"Sepertinya ini sudah cukup. Pistol, pisau dan obat-obatan sesuai dengan rencana yang telah ku dapatkan. Sekarang lebih baik Aku segera menuju ke titik pertemuan kami agar dapat memikirkan cara terbaik untuk menuju lokasi gedung tua tersebut." pikirku membatin.
Sesampainya dititik yang telah kami janjikan, kami semua berkumpul memberitahukan apa saja perlengkapan yang telah kami dapatkan.
"Ini! Aku baru ingat dulu sempat membeli pisau ini saat Aku dan rombongan akan mendaki. Sepertinya pisau berburu ini bisa kupakai sebagai pelindung." ujar Krisna sambil menunjukkan pisau berburunya itu di atas meja.
"Oh ya, Aku juga ada sedikit roti dan cemilan jika kita kelaparan nantinya." tambahnya lagi.
"Lalu bagaimana denganmu, Dan?" tanyaku pada Dana.
"Hm ... Sepertinya peralatan kalian cukup keren yah ... Aku hanya ada pisau dapur ini, itupun punya Ibuku." jawabnya sedikit malu untuk menyatakan hal tersebut.
"Hahaha ... Tak apa, Dan. Itu juga bisa untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu padamu. Simpan saja." balasku tersenyum mencoba meyakinkannya untuk keputusan yang telah ia ambil.
"Baik, semua peralatan yang kita butuhkan sekarang sudah lengkap. Lalu, ada ide kah atau strategi untuk kita menuju kesana?" tanyaku kepada mereka.
Langsung saja, Krisna pun menjelaskan bagaimana cara terbaik agar kita menuju kesana dan strategi apa untuk membawa Ririn kembali, jika yang disandera adalah Ririn. Berbagai penjelasan, dari Plan A, Plan B dan Plan C ia utarakan seolah-olah ia sedang memainkan sebuah game perang dengan tujuan menyelamatkan si sandera. Namun yang berbeda terjadi saat ini adalah, penyelamatan ini adalah nyata, dan tidak ada pengulangan jika kami gagal. Itu saja yang membedakannya!
"Sudah siap!?" tanya Krisna kepada kami berdua.
"Siap!" jawab kami serentak.
***
Di lokasi ...
Kami berpencar menjadi dua bagian, Krisna dan Dana sedangkan Aku sendiri. Sengaja kami menghentikan motor dikejauhan dari gedung tua itu agar tak ada suara yang bisa dilacak oleh mereka. Aku segera maju menuju pintu bagian timur dari gedung itu. Gedung tersebut memiliki tiga pintu, pintu utama tepat ditengah gedung, pintu dua disisi timur gedung dan pintu tiga disisi baratnya. Kulihat dari kejauhan tak ada satu pun yang menjaga pintu itu. Kulihat sekali lagi dengan teliti dibalik semak-semak yang menghalangi. Tepat dibagian atas kanan pintu, ada seorang yang sedang bolak-balik mengitari jendela itu.
"Sudah kuduga, penjaganya pun pasti berada di dalam gedung itu." pikirku.
Aku memberanikan membuka pintu, dengan sangat pelan agar tak menimbulkan suara apapun.
Terbuka!!
Tanpa basa-basi, langsung saja Aku pun segera memasuki gedung tua itu. Terlihat kosong sekali, tak ada benda perabotan apapun di sana, layak sebuah rumah yang telah lama ditinggalkan oleh penghuninya. Gelap dan sunyi sekali. Sekedar informasi, gedung ini terdiri dari lima lantai, dikarenakan gedung ini merupakan peninggalan markas belanda dahulu, jadi sampai sekarang tak ada satupun orang atau perusahaan yang tertarik untuk membeli gedung tua ini.
Dari kejauhan, tepatnya di bawah tangga itu terlihat beberapa orang sedang turun dari lantai atas tersebut. Hampir saja ketahuan, segera Aku pun bersembunyi dibalik tumpukan kayu yang tak berguna itu. Aku melirik mereka, ternyata mereka bertiga dan keluar menuju arah pintu keluar, sepertinya tugas mereka adalah berjaga-jaga di halaman luar gedung. Baiklah, saatnya yang tepat untuk menyelinap masuk menaiki tangga itu saat setelah mereka keluar dari pintu tersebut.
"Baiklah, mari kita lihat di lantai dua, apa yang ada disana." geramku dalam hati.
Setelah berada di lantai dua, tiba-tiba saja terdengar suara tembakan, kencang sekali.
Dduuaarrrrr ..!!
Astaga, apa yang terjadi, seolah membuat kaget seisi ruangan, mereka pun segera turun dan pergi menuju lantai pertama. Untung saja, Aku sudah keluar dari tangga itu dan menyelinap disalah satu ruangan sana. Aku melihat mereka dari jendela ruangan ini, mereka semua menuju ke halaman, ternyata salah satu dari mereka sedang menembak kijang yang kebetulan terlintas. Huftt, untung saja. Aku pikir mereka sedang menembaki Dana atau Krisna. Semoga saja tidak akan terjadi.
Dengan mudah Aku segera naik ke lantai tiga. Di sana terlihat sangat sepi sekali, padahal sebelumnya Aku melihat mereka dari jendela di lantai itu. Melangkah dengan hati-hati sambil selalu menggenggam pistol seerat-eratnya. Baru kali ini Aku mencoba menggunakannya, walau rencana kami sebisa mungkin tak akan menggunakan senjata.
Aku terus maju, berharap secepat mungkin menuju ke lantai empat kemudian lantai lima, tempat dimana orang yang sedang disandera oleh mereka. Belum sempat melangkahkan kaki ke anak tangga, dengan hitungan detik sebuah dentuman keras menghantam tepat dibelakang kepalaku.
Praaangggg ..!! Kencang sekali, seolah ingin terus bangkit tapi pukulan itu telah merenggut seluruh kesadaranku, dan ...
"Waw ... Hebat, hebat. Tak kusangka Kau berani pergi kesini seorang diri dan lebih cepat sesuai perjanjian."
Suara samar-samar itu terdengar sayup. Antara sadar dan tidak, Aku dipaksa menengadahkan kepala, disiram hingga mereka memaksa kesadaranku untuk kembali.
"Siapa Kau?" tanyaku pelan.
"Hahaha ... Kau bertanya Aku siapa!?" pria itu berbalik bertanya dengan tawa yang hampir dibuat-buatnya.
"Baiklah, sebelum Aku memperkenalkan diri, kuucapkan selamat datang di istanaku." balasnya.
"Oh ya, Aku hampir saja lupa, akhirnya kalian berdua ditakdirkan untuk kembali bersama ya, walau dengan keadaan yang rak diharapkan. Hahaha ..."
"Maksud Kau!? Bedua!? Siapa yang Kau maksud selain Aku!?" tanyaku bingung dengan keadaan setengah waras.
"Astaga! Sepertinya Kau masih belum sadar. Lihat, lihatlah! Perempuan yang Kau sayangi, dua orang yang jatuh cinta bertemu kembali dengan waktu yang hampir habis!" balasnya sambil mencengkeram wajahku untuk memperlihatkan siapa sosok yang berada didepanku itu.
"Riirrr, Ririn ..??" tanyaku terkejut.
"Ciihhh ..!! Bajingan Kau ..!! Lepaskan dia ..!! Atau Kau akan mati ..!!" kataku mulai geram.
Ntahlah, sudah berapa lama Aku berada di sini, lebih tepatnya sudah berapa lama Aku disekap. Terakhir yang bisa ku ingat ialah saat berada di lantai tiga, setelah terdengar suara penembakan seekor kijang yang membuat orang-orang itu turun, lalu Aku segera menuju anak tangga ke lantai empat dan setelah itu Aku pun tak ingat apapun lagi.
Di sana hanya ada Aku, Pria besar itu dan Ririn yang diikat disebuah tiang dengan kondisi tak sadarkan diri.
"Sekali lagi siapa Kau!?" bentakku kepadanya.
"Hm ... Oke, baiklah jika Kau penasaran atas identitasku, walau kalian berdua setelah ini tak bernyawa lagi." balasnya.
"Oh iya, sebelumnya Kau tentu sudah pernah mendengar Mafia Naga Merah Kepala Dua, bukan? Oh iya, atau biasa disebut dengan Mafia Bermata Satu ..."
"Itulah kami, dan Aku adalah kaki tangan sang mulia untuk wilayah daerah ini, Chen Fai Jianheeng. Rasanya sampai sini Kau sudah paham, bukan?" tanyanya sambil duduk begitu santai dengan menghisap asap cerutu besarnya itu.
"Mafia Bermata Satu!?" celetukku kaget mendengarnya.
"Yup, benar sekali." balasnya lagi.
Astaga, apa yang telah terjadi? Benar dugaanku selama ini. Pertama, orang yang disandera ialah Ririn dan kedua yang menyanderanya ialah pasti mereka, kelompok Mafia Bermata Satu itu. Dengan kondisi yang sama sekali tidak memihakku, dan rasa sakit dibagian kepala belakang ini, rasanya percuma saja Aku meronta-ronta tak jelas. Hampir saja lupa, apa kabarnya Dana dan Krinsa? Mengapa mereka tak ada disini? Berarti mereka masih berada di luar sana, semoga saja tak terjadi sesuatu kepada mereka.
"Apa mau kalian!?" tanyaku mulai penasaran atas kejadian ini.
"Wah, sabar, sabar. Tak perlu buru-buru begitu, bukan? Aku mengundang Kau karena kami masih ada urusan penting dengan Kau, tentu saja ini mengenai latar belakang yang telah dilakukan Ayahmu itu, Ibrahim Rifky Gunawan, polisi bodoh yang rela mati untuk mengejar target-targetnya."
"Kurang ajar! Tutup mulut Kau, brengsekkk!" jawabku keras dengan begitu geramnya.
"Hahaha ... Cihhh ..!! Dasar ayah-anak sama saja!" balasnya singkat.
"Oke ... Langsung saja, dimana Ayah Kau menyimpan barang itu!?"
"Barang!? Barang apa yang Kau maksud!?" tanyaku mulai bingung dengan pertanyaan-pertanyaan ini.
"Ya, barang kami yang telah dicuri Ayahmu itu!" tanyanya sekali lagi dengan nada serius.
Barang? Barang apa itu yang Dia maksud. Apakah Ayah pernah menyimpan barang begitu berharga milik kelompok mafia ini? Kenapa Aku tidak mengetahuinya?
Kembali, Aku pun menjawab hal yang sama, namun kali ini bukannya penjelasan yang kuterima darinya melainkan pukulan keras menusuk perutku. Lantas, Aku pun mengeluarkan muntah darah akibat pukulan keras itu.
"Dimana barang itu!?" tanyanya lagi sambil mencengkeram wajahku begitu eratnya.
"Aa-Aku ... Ti-Tidak Tahuuu ..." balasku dengan terbata-bata.
Bbbuuuggghhhhh...!!
Kali ini pukulan itu bukan lagi jatuh diperut, tapi mendarat tepat diwajah ini. Bukan hanya satu atau dua kali, melainkan tiga kali.
"Jawab sekarang ...!! Atau Kau akan mati sia-sia di sini ..!!" gertaknya terlihat garang.
Rasanya tak ada harapan lagi untuk kali ini. Wajahku hampir babak belur, apalagi dengan kondisi badan yang sudah remuk, Aku tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. "Apa yang Ayah lakukan dengan situasi seperti ini, Ayah? Apa?" tanyaku membatin.
Melihat diriku yang tak menjawab apapun, akhirnya dia pun memutuskan untuk mengakhiri pertemuan ini dengan salam perpisahan. Sebuah pistol berwarna silver miliknya itu diarahkan tepat dikeningku, "Baiklah, jika itu jawabanmu anak muda." bisiknya terdengar amat menakutkan.
Oh Tuhan, apakah ini akhir cerita perjuanganku selama ini!? Apakah ini akhir cerita dari kisah kematian Ayah dan Kak Ali!? Bagaimana sedihnya Ibu saat mengetahui Aku telah mati!? Bagaimana murkanya Kak Gina saat mendengar mafia ini yang telah membunuhku!? Bagaimana kabarnya Ririn!? Bagaimana dengan Dana dan Krisna!? Bagaimana dengan akhir dunia ini!? Oh Tuhan, kupasrahkan semuanya, yah semuanya ...
Detik-detik kematianku terasa sangat lambat. Bayangan akan gambaran tentang masa lalu itu kembali berputar dalam ingatan. Kisah sebuah keluarga kecil dengan dikaruniai dua orang anak yang pemberani, lalu pergi meninggalkan tangisan seorang ibu yang akhirnya terpaksa sendiri. Gambaran wajah Ayah, gambaran wajah Ibu dan gambaran wajah Kak Ali, semuanya tersenyum melihatku. Rasanya indah sekali ...
Ddduuaarrrrr ...!! Suara itupun akhirnya terdengar, amat kencang, kencang sekali ...
To be Continue...
"Kaalll ..!? Haikaalll ..!??" ia pun mencoba menolak kenyataan akan takdir yang baru saja terjadi.
Aku terus maju, berharap secepat mungkin menuju ke lantai empat kemudian lantai lima, tempat dimana orang yang sedang disandera oleh mereka. Belum sempat melangkahkan kaki ke anak tangga, dengan hitungan detik sebuah dentuman keras menghantam tepat dibelakang kepalaku.
Praaangggg ..!! Kencang sekali, seolah ingin terus bangkit tapi pukulan itu telah merenggut seluruh kesadaranku, dan ...
"Waw ... Hebat, hebat. Tak kusangka Kau berani pergi kesini seorang diri dan lebih cepat sesuai perjanjian."
Suara samar-samar itu terdengar sayup. Antara sadar dan tidak, Aku dipaksa menengadahkan kepala, disiram hingga mereka memaksa kesadaranku untuk kembali.
"Siapa Kau?" tanyaku pelan.
"Hahaha ... Kau bertanya Aku siapa!?" pria itu berbalik bertanya dengan tawa yang hampir dibuat-buatnya.
"Baiklah, sebelum Aku memperkenalkan diri, kuucapkan selamat datang di istanaku." balasnya.
"Oh ya, Aku hampir saja lupa, akhirnya kalian berdua ditakdirkan untuk kembali bersama ya, walau dengan keadaan yang rak diharapkan. Hahaha ..."
"Maksud Kau!? Bedua!? Siapa yang Kau maksud selain Aku!?" tanyaku bingung dengan keadaan setengah waras.
"Astaga! Sepertinya Kau masih belum sadar. Lihat, lihatlah! Perempuan yang Kau sayangi, dua orang yang jatuh cinta bertemu kembali dengan waktu yang hampir habis!" balasnya sambil mencengkeram wajahku untuk memperlihatkan siapa sosok yang berada didepanku itu.
"Riirrr, Ririn ..??" tanyaku terkejut.
"Ciihhh ..!! Bajingan Kau ..!! Lepaskan dia ..!! Atau Kau akan mati ..!!" kataku mulai geram.
Ntahlah, sudah berapa lama Aku berada di sini, lebih tepatnya sudah berapa lama Aku disekap. Terakhir yang bisa ku ingat ialah saat berada di lantai tiga, setelah terdengar suara penembakan seekor kijang yang membuat orang-orang itu turun, lalu Aku segera menuju anak tangga ke lantai empat dan setelah itu Aku pun tak ingat apapun lagi.
Di sana hanya ada Aku, Pria besar itu dan Ririn yang diikat disebuah tiang dengan kondisi tak sadarkan diri.
"Sekali lagi siapa Kau!?" bentakku kepadanya.
"Hm ... Oke, baiklah jika Kau penasaran atas identitasku, walau kalian berdua setelah ini tak bernyawa lagi." balasnya.
"Oh iya, sebelumnya Kau tentu sudah pernah mendengar Mafia Naga Merah Kepala Dua, bukan? Oh iya, atau biasa disebut dengan Mafia Bermata Satu ..."
"Itulah kami, dan Aku adalah kaki tangan sang mulia untuk wilayah daerah ini, Chen Fai Jianheeng. Rasanya sampai sini Kau sudah paham, bukan?" tanyanya sambil duduk begitu santai dengan menghisap asap cerutu besarnya itu.
"Mafia Bermata Satu!?" celetukku kaget mendengarnya.
"Yup, benar sekali." balasnya lagi.
Astaga, apa yang telah terjadi? Benar dugaanku selama ini. Pertama, orang yang disandera ialah Ririn dan kedua yang menyanderanya ialah pasti mereka, kelompok Mafia Bermata Satu itu. Dengan kondisi yang sama sekali tidak memihakku, dan rasa sakit dibagian kepala belakang ini, rasanya percuma saja Aku meronta-ronta tak jelas. Hampir saja lupa, apa kabarnya Dana dan Krinsa? Mengapa mereka tak ada disini? Berarti mereka masih berada di luar sana, semoga saja tak terjadi sesuatu kepada mereka.
"Apa mau kalian!?" tanyaku mulai penasaran atas kejadian ini.
"Wah, sabar, sabar. Tak perlu buru-buru begitu, bukan? Aku mengundang Kau karena kami masih ada urusan penting dengan Kau, tentu saja ini mengenai latar belakang yang telah dilakukan Ayahmu itu, Ibrahim Rifky Gunawan, polisi bodoh yang rela mati untuk mengejar target-targetnya."
"Kurang ajar! Tutup mulut Kau, brengsekkk!" jawabku keras dengan begitu geramnya.
"Hahaha ... Cihhh ..!! Dasar ayah-anak sama saja!" balasnya singkat.
"Oke ... Langsung saja, dimana Ayah Kau menyimpan barang itu!?"
"Barang!? Barang apa yang Kau maksud!?" tanyaku mulai bingung dengan pertanyaan-pertanyaan ini.
"Ya, barang kami yang telah dicuri Ayahmu itu!" tanyanya sekali lagi dengan nada serius.
Barang? Barang apa itu yang Dia maksud. Apakah Ayah pernah menyimpan barang begitu berharga milik kelompok mafia ini? Kenapa Aku tidak mengetahuinya?
Kembali, Aku pun menjawab hal yang sama, namun kali ini bukannya penjelasan yang kuterima darinya melainkan pukulan keras menusuk perutku. Lantas, Aku pun mengeluarkan muntah darah akibat pukulan keras itu.
"Dimana barang itu!?" tanyanya lagi sambil mencengkeram wajahku begitu eratnya.
"Aa-Aku ... Ti-Tidak Tahuuu ..." balasku dengan terbata-bata.
Bbbuuuggghhhhh...!!
Kali ini pukulan itu bukan lagi jatuh diperut, tapi mendarat tepat diwajah ini. Bukan hanya satu atau dua kali, melainkan tiga kali.
"Jawab sekarang ...!! Atau Kau akan mati sia-sia di sini ..!!" gertaknya terlihat garang.
Rasanya tak ada harapan lagi untuk kali ini. Wajahku hampir babak belur, apalagi dengan kondisi badan yang sudah remuk, Aku tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. "Apa yang Ayah lakukan dengan situasi seperti ini, Ayah? Apa?" tanyaku membatin.
Melihat diriku yang tak menjawab apapun, akhirnya dia pun memutuskan untuk mengakhiri pertemuan ini dengan salam perpisahan. Sebuah pistol berwarna silver miliknya itu diarahkan tepat dikeningku, "Baiklah, jika itu jawabanmu anak muda." bisiknya terdengar amat menakutkan.
Oh Tuhan, apakah ini akhir cerita perjuanganku selama ini!? Apakah ini akhir cerita dari kisah kematian Ayah dan Kak Ali!? Bagaimana sedihnya Ibu saat mengetahui Aku telah mati!? Bagaimana murkanya Kak Gina saat mendengar mafia ini yang telah membunuhku!? Bagaimana kabarnya Ririn!? Bagaimana dengan Dana dan Krisna!? Bagaimana dengan akhir dunia ini!? Oh Tuhan, kupasrahkan semuanya, yah semuanya ...
Detik-detik kematianku terasa sangat lambat. Bayangan akan gambaran tentang masa lalu itu kembali berputar dalam ingatan. Kisah sebuah keluarga kecil dengan dikaruniai dua orang anak yang pemberani, lalu pergi meninggalkan tangisan seorang ibu yang akhirnya terpaksa sendiri. Gambaran wajah Ayah, gambaran wajah Ibu dan gambaran wajah Kak Ali, semuanya tersenyum melihatku. Rasanya indah sekali ...
Ddduuaarrrrr ...!! Suara itupun akhirnya terdengar, amat kencang, kencang sekali ...
To be Continue...
"Kaalll ..!? Haikaalll ..!??" ia pun mencoba menolak kenyataan akan takdir yang baru saja terjadi.


Ditunggu kelanjutannya semoga kisahnya happy ending. Harapan agar ririn segera terbebas karena menjadi pihak yang paling tidak tahu akar permasalahan.
ReplyDeletehaha.. aamiin.. iya, kasihan ririnnya yahh.. :")
DeleteCeritanya bagus dek taufik...tapi pembaca belum mendapatkan sebuah cerita yg menggugah emosi seperi kemarahan, kebencian, romantisme, pesan2 bijak. Mungkin bisa dijadikan bahan referensi film shaolin rise of the legend.
ReplyDeletesudahlah, kan mo msuk blan puasa, mending maap"an ae kak.. :D
Deletehttps://youtu.be/jOnEdLBPYaU
ReplyDeletewuiihhh.. oke kak, nice info :D
Delete