Teman Pena

"MENJADI MANUSIA YANG BERGUNA ANTAR SESAMA DAN MATI DALAM KHUSNUL KHATIMAH"

Penulis itu

  • Muda
  • Kreatif
  • Berwawasan
  • Amazing!

Hot

Post Top Ad

LightBlog

Post Top Ad

Your Ad Spot

Wednesday, February 23, 2022

Apa Itu Covid-19 Varian Omicron?

10:03 AM 1

 



Hello Teman Pena semuanya! Sudah lama rasanya Saya tidak melanjutkan untuk menulis artikel atau semacam lainnya di laman blog ini ya... Mungkin semuanya sudah kangen berat ya? Haha...


Baik, kali ini di awal tahun 2022 Saya akan membahas terkait kehebohan yang tak kunjung berhenti dari dua tahun sebelumnya, yakni penularan Virus Covid-19. Sebagai pembahasan awal, Virus Covid-19 atau biasa disebut dengan Virus Corona SARS-CoV-2 ini diidentifikasi pertama kali muncul di wilayah Wuhan, Cina, pada Desember 2019. Kemudian Virus ini masuk ke wilayah Indonesia dengan muncul adanya Pasien 01 dan Pasien 02. Menurut berita yang beredar, Tertularnya Pasien 01 tersebut diakibatkan setelah melakukan kontak dekat dengan WN Jepang yang terjangkit positif Covid-19 dan dilaporkan masuk ke Indonesia pada tanggal 02 Maret 2020. Sedangkan Identitas Pasien 02 merupakan Ibu dari Pasien 01 yang sudah jelas melakukan kontak erat dengan anaknya tersebut.

Munculnya Pandemi Virus Covid-19 ini menjadikan dampak yang sangat buruk bagi kesehatan maupun kelangsungan ekonomi negara. Tepat pada 10 April 2020, Provinsi DKI Jakarta resmi mengumumkan akan melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada Jumat (10/04) selama dua minggu pertama dikarenakan tingginya lonjakan jumlah kasus positif  yakni lebih dari 1.300 orang terinfeksi Covid-19 di Jakarta dengan setidaknya 133 orang meninggal dunia. Hingga akhirnya Presiden pun memutuskan untuk dilaksanakannya PSBB Nasional, dilanjutkan dengan kebiasaan New Normal hingga akhirnya muncul aturan terkait PPKM (Pemberlakuan Kegiatan Masyarakat).

Menurut data nasional diakhir tahun 2021, jumlah kasus yang terkonfirmasi yakni 743.198 dengan rinciannya, 611.097 kasus sembuh, 109.963 kasus dalam perawatan, dan 22.138 kasus yang meninggal dunia. 


Setelah terjadinya beberapa kali mutasi dari Varian Alpha, Beta, Gama, Delta dan lain sebagainya, muncullah varian jenis baru yang masuk ke wilayah Indonesia, yakni jenis Varian Omicron (B.1.1.529).


Jadi apa itu jenis baru Covid-19 dengan Varian Omicron? Dan bagaimana gejala serta penanggulangannya? Baik mari kita bahas satu per satu. Berdasarkan pada situs Wikipedia, Varian Omicron, juga dikenal sebagai garis keturunan B.1.1.529, adalah sebuah varian SARS-CoV-2, sebuah koronavirus yang menyebabkan Covid-19. WHO ini juga menyatakannya sebagai varian yang diwaspadai dan menamakannya dari kata Yunani Omicron.


World Health Organization (WHO) telah menetapkan varian baru COVID-19, B.1.1.529 atau Omicron sebagai Variant of Concern (VOC) atau varian yang menjadi perhatian pada 26 November 2021. Secara umum pasien yang terinfeksi virus varian baru ini mengalami gejala tak biasa yang muncul saat buang air besar. Sejumlah pasien Covid-19 Omicron di Inggris, misalnya, menderita masalah berupa diare parah. Gejala varian ini menurut pakar ahli hampir sama dengan gejala yang ditimbulkan pada varian delta. Untuk lebih jelasnya, gejala yang dapat ditimbulkan dari infeksi Covid-19 Varian Omicron ini adalah sebagai berikut:


1.    Sakit Tenggorokan

Sakit tenggorokan akibat Covid-19 terasa mirip seperti Anda sedang mengalami pilek atau radang pada tenggorokan. Namun gejala yang ditimbulkan dari infeksi Covid-19 ini cenderung lebih ringan dan tidak melebihi dari lima hari.


2.    Sakit Kepala

Hampir lima puluh persen yang terjangkit gejala Covid-19 akan merasakan gejala sakit kepala. Gejala ini juga merupakan tanda awal untuk muncul gejala-gejala lainnya seperti batuk, flue dan lain-lain. Gejala sakit kepala ini dapat berlangsung selama lebih dari tiga hari dan cenderung tahan terhadap obat penghilang rasa sakit biasa.


3.    Hidung Meler/Pilek/Bersin

Gejala yang paling sering dan umum terjadi adalah hidung meler/ pilek. Hampir 60% gejala ini muncul pada penderita yang terinfeksi Covid-19, dan biasanya gejala ini dapat sebagai tanda terjadinya anosmia atau hilangnya indra penciuman.


4.    Kehilangan Indra Penciuman/ Anosmia

Anosmia biasa diartikan sebagai hilangnya kemampuan indra penciuman untuk mencium bau. Gejala ini terus menjadi indikator terkuat infeksi COVID-19 terlepas dari usia, jenis kelamin seseorang atau tingkat keparahan penyakit. Selain kehilangan indra penciuman mereka sepenugnya, Anda mungkin tidak dapat merasakan makanan atau terasa hambar.


5.    Batuk

Selanjutnya gejala batuk yang terus menerus. Biasanya pasien yang terinfeksi virus tersebut mengakibatkan batuk kering yang terus menerus dan umumnya penderita mengalami batuk tersebut hingga beberapa hari atau sekita 4-5 hari.


6.    Kelelahan

Ciri-ciri selanjutnya adalah mengalami kelelahan. Kelelahan disini akan muncul secara tiba-tiba tanpa adanya indikator sepereti kelelahan pada umumnya.


7.    Mual dan Muntah

Terakhir gejala yang sering timbul pada penderita Covid-19 adalah seringnya mual dan muntah. Gejala ini juga hampir mirip seperti gejala pada varian sebelum-sebelumnya. Dikarenakan virus varian ini dapat menginfeksi saluran pencernaan, menjadikan hal tersebut sebagai salah satu dampak indikator banyaknya pasien yang mengeluhkan mual, muntah hingga diare.


Untuk menanggulangi atau mencegah terpaparnya Virus Covid-19 Varian Omricorn, berikut langkah yang dapat kita lakukan agar terhindar dari infeksi varian baru tersebut:

-    Yang pertama melakukan vaksinasi sesuai instruksi pemerintah (2 kali vaksin biasa + 1 kali vaksin booster);

-    Kedua, menunda untuk bepergian serta mengikuti aturan yang dianjurkan jika setelah bepergian ke luar kota/ kerumanan;

-    Ketiga, selalu untuk mencuci tangan secara rutin dan benar;

-    Keempat, meningkatkan kekebalan tubuh dengan mengkonsumsi makanan yang baik dan sehat serta berolahraga yang cukup;

-    Kelima, selalu menggunakan masker dengan standar kesehatan;

-    Keenam, menjaga sirkulasi udara pada ruangan dengan meningkatkan ruang ventilasi sebagai jalur masuk/keluarnya sirkulasi udara;

-    Keempat, selalu menjaga jarak dan tidak mendekati kerumunan;

-    Terakhir, selalu untuk mengikuti tes Covid-19 dengan Swab Tes Antigen maupun Swab PCR agar penyeberan pada tubuh kita dapat terkontrol dengan baik.


Baik, itulah artikel kali ini terkait "Apa Itu Covid-19 Varian Omicron?". Semoga dengan apa yang Saya tulis dapat bermanfaat bagi setiap pembaca, terkhusus bagi Teman Pena yang senantiasa hingga detik ini. Sebagai penutup, Saya berharap semoga teman-teman dan kita semua diberikan kesehatan selalu hingga negeri dan dunia ini kembali membaik. Aamiin...

Sekian, Terima Kasih :)


Penulis : Muhammad Taufik Akbar (Lahat, 24 Februari 2022)

Referensi :

-    www.wikipedia.com

-    www.cnbcindonesia.com

-    www.health.detik.com

-    www.bbc.com

-    www.covid19.go.id

-    www.beritasatu.com

-    www.ciputrahospital.com


Read More

Friday, April 24, 2020

Garis Lintang #7 "Wisuda"

9:29 AM 0





     Sebuah jalan cerita yang tak terduga
     Dengan naskah yang membawaku untuk mengenal Dia
     Begitulah penulis ini menceritakannya
     Menyoret-nyoret Aku dalam sebuah situasi penuh dilema
     Aku dan Dia mungkin hanya cerita
     Dengan akhir yang telah sama-sama kita baca
     Aku dan Dia mungkin hanya fiksi belaka
     Dengan Ending yang membuatku begitu terluka
     Yah ...
     Hanya dengan mengikhlaskannya saja adalah cara yang terbaik
     Untuk menikmati akhir cerita yang apik
     Selamat berbahagia untuk Aku dan juga Kamu




     Mentari pagi saat ini begitu cerah. Menyapa setiap insan agar cerita hari ini menjadi indah. Suara cuit-cuit-an burung itu pun menambah kemewahan yang disajikin oleh alam semesta. "Selamat Pagi Dunia!", sorakku kepadanya.

     Kulirik jam weker biru yang bertemakan menara Eifel itu, terlihat jarum pendeknya telah mengarahkan angka enam, berarti sudah waktunya Aku harus bersiap-siap. Seperti biasa, kurapihkan terlebih dahulu tempat tidur, melipat selimut lalu menata kembali bantal guling yang telah berserakan kemana-mana. Semuanya sudah beres, lantas Aku pun segera menuju kamar mandi.

     "Selamat Pagi, Ibu ..!!" ucapku kepadanya saat melintasi ruang dapur. Di sana Ibu sedang memasak untuk sarapan kami. Dengan wajah manis dan tenang, ia membalas salamku dengan senyum indah yang dimilikinya itu.

     "Mandinya jangan lama-lama ya, Nak. Nanti kamu bisa telat loh." ucapnya lembut.

     "Siap! Aman, laksanakan!", balasku tanpa basa-basi, lalu segera kututup pintu kamar mandi itu.

     Pagi ini semuanya sudah selesai. Begitu pun juga Ibu. Kebaya yang dikenakannya menambah aura kecantikannya beribu-ribu kali lipat. Hahaha, agak lebay sepertinya yah ... Tapi memang begitu kenyataannya. Ia memang sesosok perempuan bandung yang geulis, kata Ayah saat dulu mencoba menggodanya. Haha ... Lucu memang ...

     Di ujung meja ruang tamu itu, saat kami sedang duduk menunggu sesuatu, tiba-tiba handphone ku berbunyi, ternyata ada telepon masuk.

     "Bagaimana, Kal? Semuanya sudah beres?" tanya Kak Gina dibalik ruang waktu telepon itu.

     "Sudah kak. Kami berdua sudah siap." balasku singkat.

     "Baiklah. Tunggu saya sepuluh menit, sebentar lagi juga sampai nih." jawabnya.

     "Wokay, siap kapten!" setelah itu Aku pun segera mengakhiri telepon darinya.

     Jam telah menunjukkan pukul setengah delapan dan acara itu akan baru mulai pada pukul sembilan. Masih sempat, pikirku dalam hati. Sembari menunggu Kak Gina, akhirnya Aku pun mencoba melihat-lihat isi pesan masuk yang sedari tadi memenuhi kontak WhatsApp ku. Astaga, banyak sekali! Pesan-pesan itu berisi ucapan selamat dari teman-teman maupun keluarga. "Selamat Haikalll ...!! Your De Bessss ..!!""Gila lo, Kal ..!! Udah Wisuda Aje nih anak ..!! Btw Selamat Broo ..!!", "Wahhh, Nak Haikal dah besar yah sekarang. Selamat yah, Nak. Salam buat Ibumu yah, nanti tante pasti akan datang!" dan masih banyak lagi. Membaca satu persatu pesan masuk tersebut membuat hati ini terharu, ternyata ada banyak orang lain yang selama ini menyayangi dan telah menganggapku ada di dunia ini. Terimakasih banyak semuanya ...

     Tak terasa sepuluh menit lewat pun berlalu dan mobil Kak Gina pun tiba. Kami pun bergegas menuju mobil, tak lupa juga kupegang toga itu agar tak tertinggal. Kami berdua pun masuk ke dalam mobilnya.

     Acara tersebut diselenggarakan di gedung Auditorium Kampus. Saat memasuki gerbang, banyak sekali kendaraan yang mengantri masuk, sudah kuduga pasti akan macet. Undangan acara Wisuda ini sengaja Aku berikan kepada mereka, Ibu dan Kak Gina, sebagai orang terdekatku saat ini. Mereka berdua adalah orang yang paling Aku percaya dan paling Aku cinta, tentunya.

     Kami bertiga pun segera masuk ke dalam gedung, megah sekali! Tata gedung itu sudah disiapkan oleh panitia, bagi para Wisudawan/Wisudawati dipersilakan untuk duduk di lantai utama sedangkan para tamu atau orang tua dipersilakan untuk duduk dilantai dua.

     Tepat pukul sembilan, acara tersebut pun dimulai. Di awali dengan acara pembukaan dan kata sambutan dari Rektor Universitas. Menggugah semangat sekali. Setelah itu acara penampilan tari dari adik-adik mahasiswa dan terakhir adalah prosesi penyematan piagam Wisudawan/Wisudawati. Sesi acara inilah yang ditunggu-tunggu oleh kami, penyematan piagam dan akhirnya nomor urutku dipanggil, nomor empat puluh enam dengan nilai IPK ku sebesar 3,7. Wow ..!! Luar biasa, mendekati Coumlaude! Aku pun segera maju menuju podium, menerima piagam tersebut serta berfoto layaknya Wisudawan pada umumnya lalu setelah itu kembali menuju tempat kursi semula.

     Acara itupun usai, para Wisudawan/ Wisudawati lalu menyebar tuk mencari keluarganya masing-masing. 

     Di sudut gedung itu, Aku, Dana dan Krisna saling bersalaman lalu bertukar ucapan selamat.

     "Oy brooo ..!! Gila lu ya, IPK atau IPK noh .!? Tinggi banget cuy ..!!" celetuk Krisna.

     "Hahaha ... Iya nih, mantap benerrr ..!!" Dana pun ikut-ikutan.

     "Hehe ... Gak kok, yah namanya juga orang pintar. Jadi dapetin nilai IPK seperti itu mudah saja ..." jawabku songong.

     Tiba-tiba Krisna pun memukul pelan bahuku, "Sialan, udah bisa sombong yah nih anak ..." katanya.

     Kami bertiga pun tertawa lepas, entahlah rasanya lucu saja jika bercanda-canda dengan mereka.

     "Eh bro, Ibumu mana?" tanya Dana mulai heran.

     Memang sedari tadi mereka berdua sudah lama asyik berswafoto dengan keluarganya masing-masing. Ditambah lagi dengan Krisna, ia sengaja mengundang pacarnya untuk hadir diacara prosesi Wisudanya. Pacarnya adalah adik angkatan kami, namanya Karin, selisih dua tahun darinya dan ia mengambil jurusan kedokteran. Jurusan yang sama diambil oleh Dia, Ririn Putri Awaliyah. Secara tak sengaja ingatan-ingatan masa lalu itu pun kembali tergambar. Saat pertama kalinya berjumpa, saat kami berdua bertukar tawa kadang juga bertukar amarah, dan saat-saat lainnya.

     "Eh, itu bukannya Kak Gina yah?" tanya Krisna spontan yang menghentikan lamunanku.

     "Ii-Iyaa ..." jawabku gagap.

     "Hey Kak Gina, kami bertiga disini ..!! Ayok kita berkumpul bareng, kita foto-foto bareng di sini ..!!" sorak Krisna kencang sambil melambaikan tangannya.

     Kami pun berkumpul bersama, lalu memutuskan untuk berpindah menuju danau kampus dengan berlatar belakang tulisan besar universitas tersebut.

     Di sana kami berkumpul. Ada Dana beserta ayah ibunya, Krisna beserta ayah ibunya begitupun juga dengan pacarnya, Ibu, Kak Gina, Tante Yasmin yang tadi pagi sudah berjanji untuk hadir, lalu ada diriku dan seharusnya juga ada kamu, cinta, ya seharusnya. Kami pun segera melompat, berpose sambil melemparkan toga keatas langit, sejauh mungkin yang kita bisa ..!!

***

     "Sayang, coba kamu lihat bintang sebelah kanan itu! Kasihan sekali, bukan?" ucapnya.

     "Yang itu yah? Iya yah, kasihan sekali. Bersinar terang, tapi sendiri." balasku sambil menunjuk bintang yang dimaksudkannya.

     "Sayang?" tanyanya tiba-tiba.

     "Iya??" tanyaku balik.

     "Nanti, jika Aku sudah tidak ada lagi di dunia ini, berjanjilah padaku bahwa kamu akan baik-baik saja seperti bintang itu. Tetap bersinar terang walau tak ada pasangannya." jawabnya sambil menatapku penuh senyum.

     "Hmm ... Ii-Iiyaa ..!! Tapi tenang saja, keadaan itu tak akan pernah terjadi diantara kita. Apakah itu Kamu dan apakah itu Aku!" balasku meyakinkannya.

     Malam itu terasa sunyi dan dingin. Di atas puncak itu Aku dan Ririn saling menatap langit, bercerita lalu tertawa. Indah sekali ... Ya, kenangan yang amat indah ...

~ End

Terimakasih untuk para pembaca 'Garis Lintang' yang selama ini senantiasa mengikuti jalannya cerita kami. Mungkin disetiap kata-katanya ada kesalahan yang luput dari sepengetahuan penulis, baik itu yang terlihat maupun yang tersirat, mohon dimaafkanlah. Teman Pena... Cerita ini tak berhenti hanya sampai disini, masih ada Chapter-Chapter lanjutan yang tentunya akan kami teruskan di Novel yang berjudul 'GARIS LINTANG' yang akan datang. Selamat menunggu dan jangan lupa bahagia akan semua kenangan yang telah kita ciptakan... ^^

Dari Penulis, Muhammad Taufik Akbar.
Read More

Tuesday, April 21, 2020

Garis Lintang #6 "Pertemuan Terakhir di Gedung Tua (Bagian Akhir)"

11:55 AM 0




     Andai saja hari ini hujan itu tiba
     Pastilah air mata ini tak terbuang sia-sia
     Andai saja hari ini pelangi indah itu ada
     Pastilah Aku akan bahagia, menatap disini bersamamu berdua
     Pun andai saja malam ini bintang dan rembulan saling bercahaya
     Pun pastilah Aku akan tertidur pulas, menahan isak tangis, lalu memelukmu begitu eratnya
     Bodohnya Aku, selalu saja bodoh tanpa berpikir akan resiko dan bahaya
     Aku terlalu bodoh akan hal ini, tak kuat lagi akan semua cobaan yang menerpa
     Aku berusaha menggenggam tangan kanan agar tangan kiri tak menyadarinya
     Aku berusaha melangkah maju, berharap agar kaki ini pun terbiasa
     Aku berusaha tertawa, ceria, berharap agar hati ini tertipu bahwa keadaanku baik-baik saja
     Dan ...
     Aku terlalu bodoh, lalu menyesal saat melihat dan menatap matanya
     Menyesal, karena bodohnya dahulu ia pernah mengenalku lalu mengikat menjadi "Kita"




     "Nak, apa cita-citamu saat kamu besar nanti?" ia memulai bertanya.

     "Hmm ... Apa yah..?? Aku bingung." jawabku sambil menggaruk-garukkan kepala.

     "Kamu tidak tertarik untuk menjadi seperti ibumu?" tanyanya sekali lagi.

     "Gak ah, pucing. Haikal aja akut cama jayum cuntik." celutusku.

     Saat itu Aku baru saja menginjakkan usia yang ke-4 tahun. Dan Kami berdua sedang asyiknya bermain berdua, berbincang biasa layaknya hubungan antar dua insan yang saling menyayangi.

     "Loh, hari ini mungkin Haikal takut sama jarum suntik, tapi tidak jika Haikal saat dewasa nanti." hiburnya saat ia mendengarkanku berkata 'tidak'.

     "Apa benar itu? Apa Haikal nanti gak akut lagi cama jayum cuntik caat Haikal jadi olang dewaca?" tanyaku lugu.

     "Iya. Nanti saat dewasa, Haikal dan Kak Ali tak akan takut apapun lagi. Termasuk itu jarum suntik." jelasnya dengan tersenyum.

     "Iya Ayah, nanti Haikal akan jadi cepelti Ibu, jadi doktel yang hebat! Haikal janji Ayah ..!!" jawabku penuh semangat. Lalu setelah itu, ia pun segera memelukku, erat sekali. Ya, erat hingga Aku benar-benar merindukan pelukan itu. Sangat merindukannya ...

***

     "Ayah, ayaahhh ..!!" teriakku memanggilnya.

     "Ayah dimana, Ayaahhh ..??" teriakku lagi.

     Dimana ini? Lebih tepatnya Aku sedang berada dimana? Ruang ini sangat gelap disetiap titiknya, tak dapat melihat apapun. Terus melangkah maju, berharap menemukan pintu ataupun jalan keluar dan apapun itu. Tak ada cahaya sedikitpun. Di manakah Aku berada saat ini?

     "Haikaallll ..!?" tiba-tiba terdengar suara orang lain yang memanggil-manggil namaku.

     Aku ingat kejadian ini. Ya, gelap seperti ini juga. Saat tak ada cahaya sedikitpun yang terlintas oleh mata. Tak ada suara sedikitpun yang membisingkan telinga. Gelap dan hening. 

     "Haikal, Kau harus bangun, Nak ..!!" teriaknya dari ujung sana.

     Aku berusaha mencari-cari darimana sumber suara itu berada. Melihat kiri-kanan, depan-belakang, namun hasilnya tetap saja. Suara itu sangat mengganggu. Kenapa? Kenapa ia hanya bersuara tanpa memperlihatkan siapa wujudnya! Siapa Kamu!? Darimana Kamu!? Itu saja, ia benar-benar mengganggu.

     Aku menyerah, berhenti diantara gelap yang saling menyelimuti. Tak ada cahaya, tak ada jalan. Buntu!

     Brruugghhhh ..!! suara itu tiba-tiba muncul, keras sekali hingga membisingkan telingaku di sebelah kanannya.

     "Bangun, Nak ..!! Bangun ..!! Kau harus bangun sekarang, Nak ..!! Kau harus ... bangunnn ..!!!" suara itu mengagetkanku, suara itu dekat sekali.

***

     "Ayah, bolehkah Aku bertanya sesuatu?" tanyaku kepadanya

     Indah sekali, senja di ufuk barat tepi pantai Kuta itu sangatlah indah. Jarang sekali kami menikmati momen seperti ini. Saat itu kami sekeluarga sedang berliburan di Bali. Ayah, Ibu, Kak Ali dan Aku. Saat itu kami berempat sedang merayakan hari pengangkatan Ayah di kesatuan kepolisian Kota Bandung. Ayah mendapatkan posisi yang didamba-dambakannya, menjadi Kepala Bareskrim Kota Bandung. Lantas, sebuah kebanggaan kami terhadapnya yang mempunyai seorang Ayah yang tangguh dan kuat, dan juga pahlawan pemberantas kriminal. Hebat, bukan ..!?

     "Kamu mau menayakan apa, Nak?" jawabnya sambil melirik kearahku.

     "Berjanji Ayah takkan marah jika Aku bertanya soal ini?" Aku meliriknya serius bertanya-tanya akan apa yang terjadi jika Aku meneruskan pertanyaan ini.

     "Iya, Ayah berjanji." jawabnya tegas.

     "Baiklah, Ayah ... Ehmm ... Jujur, Haikal tak mau jadi dokter seperti Ibu. Haikal sangat takut, Haikal masih saja takut perihal jarum suntik, luka apalagi darah." jawabku canggung.

     "Hahaha ... Astaga nak, Ayah kira Kamu akan menanyakan hal-hal yang berat. Perihal apa cita-citamu nanti, Kamu bebas memilihnya. Jika Kamu memang tak suka seperti Ibu, Yasudah, apapun itu akan Ayah dukung Kamu asalkan itu merupakan cita-cita yang baik." ia pun tersenyum padaku, mengedipkan matanya, lalu mengusap-ngusapkan rambutku hingga benar-benar berantakan.

     "Aku ingin menjadi seperti Ayah!" jawabku tiba-tiba.

     "Oh ya? Bagus dong. Kamu akan menjadi polisi yang hebat, bahkan lebih hebat daripada Ayah. Yakinlah nak! Kamu pasti bisa!!" jawabnya seraya memberikan semangat kepadaku.

     Saat itu usiaku masih berumur 8 tahun dan anehnya Aku telah berpikir dan berencana perihal cita-cita. Memanglah aneh. Biasanya anak-anak seumuran itu masih berpikir perihal canda-tawa, mobil-mobilan, film kartun dan sebagainya. Sedangkan Aku telah melangkah terlalu jauh akan hal itu.

     Namun, cita-cita lama itu pun memudar, lenyap dimakan api. Aku berusaha tegar, berusaha menenangkan mereka, namun sama saja, Aku pun juga tak kuat menahan isak tangis yang teramat dalam. Sejak kematian Kak Ali, Aku merasa terpuruk, merasa hancur dan sendiri. Tak ada lagi teman untuk saling bertukar canda-tawa, tak ada lagi sosok pahlawan yang menolongku saat Aku sedang dijahilin oleh teman-temanku di sekolah. Tak ada lagi, tak ada lagi!! Kak Ali telah pergi, pergi untuk selamanya. Cita-cita menjadi Polisi hebat, mengenakan seragam cokelat, dan memakai topi khasnya yang didambakan itu retak, kenangannya telah remuk di dalam hati. Sudah remuk ...

***

     Kembali lagi ke ruang gelap itu. Masih saja gelap ...

     Tiba-tiba sesosok bayangan itu pun terlihat, maju menujuku.

     Tok, tok, tok ... suara sepatunya yang terdengar begitu keras.

     "Haikal ..??" serunya lembut.

     "Siapa Kamu!?" kali ini Aku benar-benar merasa takut, melihat bayangan yang tak kukenali yang menuju ke arahku.

     Bayangan itupun lambat laun terlihat siapa orang tersebut. Berawal dari kaki, badan, lalu wajahnya.

     "Ayahhh ..??" tanyaku cemas untuk meyakinkan apa yang sedang kulihat.

     "Kemana saja Kau selama ini Ayah!? Kemana saja!?" Aku pergi menuju ke arahnya, lalu memeluknya begitu erat.

     "Kemana saja Kau!? Kemana saja Kau selama ini, Yah!?" memukulnya pelan dengan isak tangis haru.

     "Nak ... Ayah kembali, Ayah di sini ... Kamu tak perlu takut lagi ..." jawabnya lembut.

     "Aa-Aku sangat takut, Yah ... Sangat takut ..." pelukku semakin erat.

     "Hmm ..." ia pun menggosok-gosokkan punggungku dengan tangannya.

     "Baik, sudahlah, Nak. Kamu harus kuat, Kamu harus melindungi Ibumu dan melindungi teman-temanmu. Kamu belum sepatutnya berada di sini, belum, Nak! Perjalananmu masih panjang." jelasnya sambil terus memelukku.

     Ia pun segera melepaskan pelukanku, lalu menatapku tajam, "Bangunlah, Nak ... Bangun ..!!"

***

     "Kaalll ..!! Haikaalll ..!??" suara itu terdengar samar di balik ruang itu, lalu Aku pun terbangun ...

     "Kak Gina??" tanyaku bingung yang sedang setengah sadar.

     "Bangung, Kal ..!! Kau harus bangun segera ..!!" ia pun mencoba menolak kenyataan akan takdir yang baru saja terjadi.

     Aku membuka mata, mencoba menyadarkan kembali mata ini. "Astagaaa ..!! Apa yang telah terjadi ..!?" tanyaku terkejut.

     Kulihat gedung-gedung ini mengeluarkan kobaran api. Begitu juga terdengar suara bising hembusan peluru, banyak sekali. Aku berusaha bangkit dan tak sengaja melihat Pria besar itu. Kulihat ia telah tak berdaya, badannya berlumuran darah dan begitupun kepalanya, bolong terhempas peluru panas.

     Aku berusaha bertanya dengannya, tapi ia pun menyuruhku agar bergegas sesegera mungkin. Suara tembakan itu terdengar sangat berisik. Aku benar-benar tak tahu apa yang terjadi dan apa yang sebelumnya terjadi. 

     "Kak ..!?" tanyaku sekali lagi.

     "Sudahlah, Kal! Sekarang ayo kita pergi dari sini." jawabnya tegas.

     Hampir setengah berdiri, Aku pun teringat sesuatu. Ririn! Di manakah Ririn sekarang berada.!? Aku berusaha melihat-lihat sekelilingnya, namun tetap saja tak ada petunjuk yang didapatkan.

     "Kamu sedang mencari Ririn!? Ayolah, Haikal! Ririn aman, Dia menunggumu di depan sana!" jelasnya sambil menarikku untuk segera berdiri.

     "Baiklah, Kak!" jawabku singkat.

     Setelah kami keluar dari pintu ruangan itu, akhirnya Aku pun melihatnya. Segera ku peluk erat dirinya sambil meneteskan air mata.

     "Ma-Maafkan Aku, Rinn ..." kataku kepadanya sambil tak luput melepastkan pelukanku

     "Iya, Kal. Terimakasih yah Kamu sudah berjuang sejauh ini." balasnya sambil tersenyum.

     Aku pun ikut tersenyum, senang sekali akhirnya bertemunya lagi, walau dengan keadaan seperti saat ini. Tapi. Beberapa saat Aku melamun akan suatu hal, akhirnya Aku pun sadar apa yang telah terjadi. Saat detik-detik itu akan berlangsung. Sebuah pistol silver milik Pria besar itu menodongkan tepat kearah keningku. Ia marah karena pertanyaannya perihal sebuah barang yang telah diambil oleh Ayah tak kunjung Aku jawab. Ia merasa kesal, lalu setelah ia menodongkan pistolnya, terdengarlah suara dentuman amat keras. Lebih tepatnya sebuah ledakan besar.

     "Aku tahu!!" pikirku mulai sadar.

     "Sebuah granat meledak hampir didekatku, hingga Aku tercampak sedikit jauh dari tempat semula dan setelah itu Aku tak ingat apapun lagi." pikiranku mulai menyadarkanku akan hal itu.

     "Terimakasih, Kak ..." ucapku kepada Kak Gina.

     "Sudahlah, sudah kewajiban Saya akan hal itu. Lebih baik kita bergegar turun menuju halaman, okey.?" jawabnya lugas.

     Kami pun bergegas turun menuju lantai bawah. Banyak sekali gerombolan dari mereka. Tampak didepan sana mereka terus menumpahkan pelurunya ke arah kami, lantas kami segera merunduk dan bersembunyi diantara barel-barel kosong. Disaat yang tepat, Kak Gina pun keluar, lalu menembak ke arah mereka.

     Dduuarrrr ..!! tembakan itu menembus tepat di dadanya.

     "Nice Shoot ..!!" ucapku sambil mengacungkan jempol kepadanya.

     Kami pun terus menyusuri jalan dan anak tangga. Begitupun dengan Kak Gina, ia selalu saja melindungi kami dengan peluru-pelurunya. Satu, dua, tiga dan seterusnya mereka pun berguguran. Namun kali ini keberuntungan sedang tidak memihak kami. Lantai yang kami pijak saat ini kondisinya sangat rapuh sekali, hingga Ririn pun tergelincir dan jatuh ke bawah. 

     Bbrruugghhh ..!! suara itu terdengar keras.

     Lantas Aku pun segera turun ke lantai bawah sedangkan Kak Gina melindungiku saat melangkah dan terus berjalan. 

     Dari kejauhan, Aku melihatnya diujung sana. Ia sedang terduduk, sepertinya sedang merasa kesakitan.

     "Rin, tu-tunggu Aku di sana ..!!" ucapku terbata-bata untuk meyakinkannya.

     Aku berlari, berusaha berlari secepat mungkin. Tiba-tiba Aku terdiam saat ...

     Dduuaarrrr ..!! tembakan itu menembus bahu kirinya.

    "Riinnn!! Ririinnnn ..!!" Teriakku kencang.

     "Aku pun segera berlari ke arahnya sambil menembak Pria besar brengsek itu. Berkali-kali kutembak, akhirnya tembakan yang kelima pun berhasil menembus kepala Pria besar itu. Hingga Aku berhasil dan memeluknya.

     "Rin, sadarlah, Rin ..!! Sadar, Rin ..!!" teriakku sambil menahan tangis.

     "Kaa-Kaalll ..??" ucapnya lemas.

     "Iii-Iyaaa, Rinn ... Aku di sini, Aku di sini bersamamu ..." balasku mencoba meyakinkannya.

     "Te-Terimakasih untuk usahamu sejauh ini terhadapku. Aaa-Aaku sadar bahwa selama ini Aku yang salah, maafkanlah Aku ..."

     "Tidak, Rin. Tidakkk ..!! Tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar. Keadaannya memang memaksa kita untuk akan hal itu."

     "Tii-Tiidak, Kal. Akulah yang salah. Selama ini Aku selalu saja terbayang-bayang akan dirimu. Coba saja Aku saat itu tak tersulut emosi, coba saja Aa .. Aku memaafkan diriku sendiri ..." Dia berusaha untuk melanjutkan penjelasannya.

     "Aku mau mendengarkanmu jika Kamu memaafkanku untuk semua kejadian dimasa lalu, Haikal ..." ia terus berbicara.

     "Baa-Baiklah ... Kamu benar. Kamu salah. Kamu bodoh. Kaa .. Kamu kenapa meninggalkanku selama ini, kenapa Rin ..!?" jawabku yang tak bisa lagi menahan tangisan ini.

     "Syukurlah. Sekarang Aku sudah tenang. Tak ada lagi pertanyaan-pertanyaan masa lalu itu yang menghantuiku, Aku sudah tenang sekarang, Kal ... Selamat tinggal, Cinta ..." jawabnya sambil tersenyum.

     Setelah tidak berapa lama ia mengucapkan kata 'selamat tinggal', ia pun meneteskan air matanya untuk terakhir kali, lalu terpejam untuk selama-lamanya. Ia sudah pergi, ia sudah tiada. Ririn telah meninggal dengan melepaskan keresahannya dimasa lalu. Ia pergi dengan tersenyum namun tidak denganku, Aku menangis sejadi-jadinya akan kepergiannya. "Mengaapppaaa ..!! Mengapaa Kau pergi, Riiinnnn ...!!!" teriakku sekencang-kencangnya.

     Aku menangis, tak tahu lagi apa yang harus kuperbuat. Dan dibelakangku tiba-tiba ada seseorang yang sedang mengusap-ngusap rambut kepalaku.

     "Oh Tuhan, mengapa ini terjadi?" Kak Gina pun ikut menangis.

     Di akhir cerita kami pun keluar, melangkah menuju halaman nan luas diluar sana. Api pun terus melahap dengan ganas, membakar setiap sudut-sudut ruang Gedung Tua itu. Di luar sana terlihat ada Dana, Krisna dan rekan-rekannya Kak Gina. Mereka tersenyum melihat kami. Aku, Kak Gina dan tentu saja Rina, namun hanya saja ia berbeda dengan kami. Dana dan Krisna segera menuju ke arahku, memeluk kami bertiga dengan eratnya, lalu terkejut ketika mengetahui Ririn telah tiada. Sama saja, semua manusia akan menangis ketika ia telah kehilangan orang yang mereka cintai. Dan  kami telah kehilanganmu. Yah, itu adalah Kamu, Ririn Putri Awaliyah.

     ~Selamat Tinggal Cinta ...




To be Continue...

"Selamat, Nak ... Kamu sudah tumbuh menjadi laki-laki dewasa, mirip seperti Ayahmu. Ibu bangga, sangat bangga denganmu melebihi apapun itu ..." ucapnya sambil memelukku erat, sebuah ikatan cinta dari seorang Ibu dan Anak. Aku mencintaimu, sangat mencintaimu ibu ...
Read More

Friday, April 17, 2020

Garis Lintang #5 "Pertemuan Terakhir di Gedung Tua (Bagian II)"

1:17 PM 6




     Sadarkah Aku, betapa bodohnya ini
     Menyia-nyiakan waktu yang terjadi
     Berpura-pura tidak tahu akan semua tragedi
     Hingga akhirnya, Aku pun tahu lilin itu takkan pernah menyala jika tak ada api
     Aku menyesali akan semua langkah bodoh yang pernah kujalani
     Tutup mata, tutup hati
     Egois, memikirkan diri sendiri
     Ya, Aku egois, mencempakkanmu lalu pergi
     Tuhan... Masihkah ada jalan untukku berlari?
     Atau setidaknya cukup untuk membalas dosa diri ini
     Masih adakah, Tuhan!? Masih adakah..!?




     Pesan masuk itu telah mencuri perhatian kami, meratap dan berpikir keras. Siapakah dalang semua ini!?

     "Gilaaa ..!! Kamu tahu siapa orang yang mengirimkan pesan ini padamu, Kal?" tanya Dana dengan wajahnya yang mulai serius.

     "Tidak! Aku tidak tahu siapa yang mengirimkan pesan singkat ini. Menurut kalian Aku harus bagaimana?" Aku mulai panik dan mengkhawatirkan akan semua kemungkinan-kemungkinan yang ada. Pesan singkat itu dikirimkan dengan nada ancaman, Aku yakin orang yang mengirimkannya tidaklah sedang bercanda. Semuanya pasti ada kaitannya dengan para mafia itu.

     "Kita datangi saja, bagaimana? Kita penuhi semua keinginannya." balas Krisna penuh semangat.

     "Kalau saja pelakunya adalah anak mahasiswa di sini, akan kubocorkan kepalanya!" geram Dana.

     "Lalu, Aku harus menjawab apa untuk membalas pesan ini?" tanyaku semakin panik.

     Seketika, dengan cepatnya Krisna pun mengambil ponsel itu dari genggamanku, cepat sekali.

     "Orang yang begini jangan dibiarkan, nanti kita bisa dianggap remeh oleh mereka." balas Krisna yang mulai kesal.

     'Hei, apa maumu? Dan siapa Kamu!?' kami segera mengirim pesan itu.


     Lama kami menunggu balasan pesan singkat itu. Tak ada kabar, lalu kami pun mengirim pesan lagi ke nomor yang sama.


     'Dimana Aku harus berjumpa denganmu. Kalau Kamu berani-beraninya menyakitinya, jangan harap Kamu bisa lari dari dunia ini!'


     "Astagaaaaa ..!!! Apa yang Kamu tuliskan tadi sih, Kris ..!?" bentakku pada Krisna.


     "Sudahlah, Kal. Kita lihat saja apa tanggapannya, jika dia ingin mengarahkanmu untuk ketemu dengan mereka, pastinya mereka akan mengirimkan alamatnya agar kamu pergi ke sana."

     'Salah satu Gedung Tua, tepat di atas puncak Embung Batara Sriten'


     "Embung Batara Sriten? Bukannya itu adalah tempat Aku dan Ririn pertama kali berjumpa?" pikirku dalam hati.


     "Bagaimana, Kal?" tanya Dana sekali lagi.

     "Ayo kita berangkat!" perintahku tanpa ragu sedikitpun.

     Aku, Dana dan Krina pun bergegas menuju rumah masing-masing. Kami bertiga menyiapan berbagai peralatan, baik itu senjata untuk perlindungan, obat-obatan maupun uang untuk jaga-jaga. Adapun Aku sendiri, sudah barang tentu akan mengabarkan pesan ini kepada kak Gina. Sudah kewajiban kak Gina harus tahu tentang ini, untuk berjaga-jaga, Akupun mengirimkan alamat dan rencana kami untuk berjumpa dengan mereka.

     "Kau yakin, Haikal?" tanya kak Gina melalui via telepon.

     "Aku sudah sangat yakin, kak. Aku sangat takut jika yang mereka tahan adalah Ririn. Aku punya firasat buruk terhadapnya." balasku kepadanya.

     "Baiklah, untuk sementara kalian bertiga silakan lanjut saja pergi ke sana, sedangkan Saya akan mengabarkan berita ini kepada atasan. Setelah itu Kami akan segera menuju ke lokasi tersebut. Berhati-hatilah, usahakan Kau bawa semua peralatan untuk perlindungan kalian. Di laci kamar Ayahmu, rasanya di sana ada pistol, pisau atau apapun itu, gunakan saja untuk berjaga-jaga." jelas kak Gina lengkap.

     "Baik, kak. Tenang, Kami akan baik-baik saja. Serahkan semuanya kepada kami. Oh ya, tolong jangan beritahu Ibu tentanng rencana ini. Aku takut jika dia khawatir." pintaku.

     "Baiklah!" balasnya singkat.

***

     Ingatan tentang masa lalau itu kembali terbentang di dalam pikiran ini ...

     Di Embung itu, saat senja menepati janjinya, saat itu pula awal kami berjumpa ...

     Saat itu Aku pergi ke Embung, mencoba menyusup untuk menghilangkan rasa penasaranku. Dari balik ilalang, terlihat seorang perempuan yang sedang berdiri dan meletakkan sebuah kotak kayu itu di atas bahunya. Lantas ia segera bermain, menggesekkan antar dua kayu dan senar dan menghasilkan nada-nada indah. "Apakah ini magic?" pikirku membatin.

     "Heiii ..!?" dia menoleh kearahku.

     Gawat ..!! Tak sadar lidah ini menyanyikan lagu yang ia mainkan, membuat diriku ketahuan akan ada keberadaan yang dari tadi mengawasinya.

     "Heii ..?" muka canggung penuh rasa bersalah sambil menatap tanah.

     "Maaf, aku mengganggumu... Aku hanya terpana melihat kamu bermain dengan kotak kayu itu." balasku penuh alasan.

     Terpaksa sebagai laki-laki aku menghampirinya, lalu berterus terang kepadanya.

      "Sejak kapan kamu melihatku?" tanyanya tegas.

     "Sejak senja hampir menyilaukan mataku saat melihatmu", balasku.

     "Hahaha... Kamu terlalu puitis... Btw, thanks yaa sudah memujiku tadi. Ini yang kamu sebut kotak kayu namanya biola, salah satu alat musik yang sering dimainkan oleh bangsa eropa".

     Tawa-tawa kami pun pecah, berbagai lelucon siling berganti kami lontarkan. Aku merasakan ada hal yang berbeda darinya, sebuah kecocokan diantara kami berdua. Entahlah apa itu, rasanya nyaman saja jika Aku berlama-lama dengan dirinya. Mendengarkan lantunan biola yang ia mainkan lalu menikmati indahnya lukisan Tuhan dibalik redupnya cahaya senja yang ingin berganti malam. Terlalu nyaman.

     "Hay, namaku Ririn ... Senang berjumpa denganmu ..."

     Hampir terpana aku melihat senyuman indahnya. Amat menyilaukan, sumpaahhh..!!

     "Heeyyyy ..!?" dia mencoba menyadarkanku dengan melambaikan tangannya tepat dimukaku.

     "Oh ... Haha ... Sorry, sorry, tadi Aku terpana soalnya melihat bidadari amat cantik tepat di depanku..." balasku dengan gombalan-gombalan jitu.

     "Hmm... Sepertinya jika kita sering mengobrol begini, bisa-bisa Aku akan meleleh layaknya ice cream yang diterpa teriknya siang hari" balasnnya dengan sedikit senyum-senyum malu.

     "Hahaha ... Oh ya ... Namaku Haikal Gunawan, Kamu bisa panggil Aku Haikal. Gampang, bukan..??", Aku membalas jabatan tangan halusnya itu.

     Pertemuan pertama kali itu mengawali kisah kami. Esoknya, kami berpacaran. Menjalani hari-hari bersama, mengerjakan tugas hingga menghilangkan penat bersama akan banyaknya mata kuliah ini. Di Embung itu mengajarkanku akan sebuah kesetiaan dan keniscayaan menjadi satu. Kami saling berbagi, bercerita satu sama lain. Hingga akhirnya, langkah bodoh itu memisahan Aku dengannya. Ya, langkah bodoh yang paling kusesali seumur hidup. Aku takut, sangat takut jika terjadi sesuatu kepadanya. Apakah Kamu sedang baik-baik saja, Rin? Jawab pertanyaanku ini, Rin ... Tolong jawablah ...

***

     Aku menangis. Tetesan air mata itu lambat laun membasahi keramik kamar Ayah. "Aku sangat menyesal." sesalku dalam hati.

     Dibalik dilemanya masalah yang kuhadapi, entah bayang-bayang akan kenangan masa lalu dengan Ririn itupun selalu saja membayangiku. Kenangan-kenangan manis, lelah sekali rasanya saat mengulas kembali cerita saat itu.

     Tepat didepanku terdapat laci kecil di meja kerja kamarnya. Sesuai petunjuk Kak Gina, benar laci itu yang disebutkannya. Lantas, segera kutarik laci tersebut. Ternyata laci itu tak dikunci, mudah saja Aku menariknya.

     Kreekkkkk ...

     Terbuka!! Dan benar saja, Aku sangat terkejut setelah melihat isi di dalam laci tersebut.

     Sebuah pistol dengan jenis Colt 1911 berwarna keemasan lengkap dengan amunisi hampir memenuhi ruang laci kecil itu. Aku sedikit tahu mengenai jenis-jenis pistol maupun senjata laras panjang lainnya. Dibalik latar belakang pekerjaan Ayah, Aku juga mengetahuinya dari berbagai game yang pernah kumainkan. Pistol dengan jenis Colt 1911 merupakan pistol yang dipakai lebih dari 70 dekade. Dengan desain cukup tua, pistol ini terlihat klasik jika dimasa sekarang. Pistol ini pun memiliki ruang untuk 7 buah peluru dan setiap pelurunya bisa dimuntahkan dengan kecepatan 1.225 kaki per detik. Di dalam laci itupun juga terdapat sebuah pisau berwarna silver dengan dibungkus oleh kain tebal berwarna hitam keabu-abuan.

     "Waawww ... Ini semacam harta karun. Baru pertama kali ini Aku menemukannya dan mengambilnya." ucapku secara spontan.

     Tak butuh waktu lama, kuambil pistol, pisau dan amunisi peluru tersebut ke dalam ransel milikku. Kucoba mencari-cari laci lainnya, hanya ada obat-obatan, perban dan berbagai barang medis lainnya.

     "Sepertinya ini sudah cukup. Pistol, pisau dan obat-obatan sesuai dengan rencana yang telah ku dapatkan. Sekarang lebih baik Aku segera menuju ke titik pertemuan kami agar dapat memikirkan cara terbaik untuk menuju lokasi gedung tua tersebut." pikirku membatin.

     Sesampainya dititik yang telah kami janjikan, kami semua berkumpul memberitahukan apa saja perlengkapan yang telah kami dapatkan.

     "Ini! Aku baru ingat dulu sempat membeli pisau ini saat Aku dan rombongan akan mendaki. Sepertinya pisau berburu ini bisa kupakai sebagai pelindung." ujar Krisna sambil menunjukkan pisau berburunya itu di atas meja.

     "Oh ya, Aku juga ada sedikit roti dan cemilan jika kita kelaparan nantinya." tambahnya lagi.

     "Lalu bagaimana denganmu, Dan?" tanyaku pada Dana.

     "Hm ... Sepertinya peralatan kalian cukup keren yah ... Aku hanya ada pisau dapur ini, itupun punya Ibuku." jawabnya sedikit malu untuk menyatakan hal tersebut.

     "Hahaha ... Tak apa, Dan. Itu juga bisa untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu padamu. Simpan saja." balasku tersenyum mencoba meyakinkannya untuk keputusan yang telah ia ambil.

     "Baik, semua peralatan yang kita butuhkan sekarang sudah lengkap. Lalu, ada ide kah atau strategi untuk kita menuju kesana?" tanyaku kepada mereka.

     Langsung saja, Krisna pun menjelaskan bagaimana cara terbaik agar kita menuju kesana dan strategi apa untuk membawa Ririn kembali, jika yang disandera adalah Ririn. Berbagai penjelasan, dari Plan A, Plan B dan Plan C ia utarakan seolah-olah ia sedang memainkan sebuah game perang dengan tujuan menyelamatkan si sandera. Namun yang berbeda terjadi saat ini adalah, penyelamatan ini adalah nyata, dan tidak ada pengulangan jika kami gagal. Itu saja yang membedakannya!

     "Sudah siap!?" tanya Krisna kepada kami berdua.

     "Siap!" jawab kami serentak.

***

     Di lokasi ...

     Kami berpencar menjadi dua bagian, Krisna dan Dana sedangkan Aku sendiri. Sengaja kami menghentikan motor dikejauhan dari gedung tua itu agar tak ada suara yang bisa dilacak oleh mereka. Aku segera maju menuju pintu bagian timur dari gedung itu. Gedung tersebut memiliki tiga pintu, pintu utama tepat ditengah gedung, pintu dua disisi timur gedung dan pintu tiga disisi baratnya. Kulihat dari kejauhan tak ada satu pun yang menjaga pintu itu. Kulihat sekali lagi dengan teliti dibalik semak-semak yang menghalangi. Tepat dibagian atas kanan pintu, ada seorang yang sedang bolak-balik mengitari jendela itu. 

     "Sudah kuduga, penjaganya pun pasti berada di dalam gedung itu." pikirku.

     Aku memberanikan membuka pintu, dengan sangat pelan agar tak menimbulkan suara apapun. 

     Terbuka!!

     Tanpa basa-basi, langsung saja Aku pun segera memasuki gedung tua itu. Terlihat kosong sekali, tak ada benda perabotan apapun di sana, layak sebuah rumah yang telah lama ditinggalkan oleh penghuninya. Gelap dan sunyi sekali. Sekedar informasi, gedung ini terdiri dari lima lantai, dikarenakan gedung ini merupakan peninggalan markas belanda dahulu, jadi sampai sekarang tak ada satupun orang atau perusahaan yang tertarik untuk membeli gedung tua ini.

     Dari kejauhan, tepatnya di bawah tangga itu terlihat beberapa orang sedang turun dari lantai atas tersebut. Hampir saja ketahuan, segera Aku pun bersembunyi dibalik tumpukan kayu yang tak berguna itu. Aku melirik mereka, ternyata mereka bertiga dan keluar menuju arah pintu keluar, sepertinya tugas mereka adalah berjaga-jaga di halaman luar gedung. Baiklah, saatnya yang tepat untuk menyelinap masuk menaiki tangga itu saat setelah mereka keluar dari pintu tersebut. 

     "Baiklah, mari kita lihat di lantai dua, apa yang ada disana." geramku dalam hati.

     Setelah berada di lantai dua, tiba-tiba saja terdengar suara tembakan, kencang sekali.

     Dduuaarrrrr ..!!

     Astaga, apa yang terjadi, seolah membuat kaget seisi ruangan, mereka pun segera turun dan pergi menuju lantai pertama. Untung saja, Aku sudah keluar dari tangga itu dan menyelinap disalah satu ruangan sana. Aku melihat mereka dari jendela ruangan ini, mereka semua menuju ke halaman, ternyata salah satu dari mereka sedang menembak kijang yang kebetulan terlintas. Huftt, untung saja. Aku pikir mereka sedang menembaki Dana atau Krisna. Semoga saja tidak akan terjadi.

     Dengan mudah Aku segera naik ke lantai tiga. Di sana terlihat sangat sepi sekali, padahal sebelumnya Aku melihat mereka dari jendela di lantai itu. Melangkah dengan hati-hati sambil selalu menggenggam pistol seerat-eratnya. Baru kali ini Aku mencoba menggunakannya, walau rencana kami sebisa mungkin tak akan menggunakan senjata.

     Aku terus maju, berharap secepat mungkin menuju ke lantai empat kemudian lantai lima, tempat dimana orang yang sedang disandera oleh mereka. Belum sempat melangkahkan kaki ke anak tangga, dengan hitungan detik sebuah dentuman keras menghantam tepat dibelakang kepalaku.

     Praaangggg ..!! Kencang sekali, seolah ingin terus bangkit tapi pukulan itu telah merenggut seluruh kesadaranku, dan ...

     "Waw ... Hebat, hebat. Tak kusangka Kau berani pergi kesini seorang diri dan lebih cepat sesuai perjanjian."

     Suara samar-samar itu terdengar sayup. Antara sadar dan tidak, Aku dipaksa menengadahkan kepala, disiram hingga mereka memaksa kesadaranku untuk kembali.

     "Siapa Kau?" tanyaku pelan.

     "Hahaha ... Kau bertanya Aku siapa!?" pria itu berbalik bertanya dengan tawa yang hampir dibuat-buatnya.

     "Baiklah, sebelum Aku memperkenalkan diri, kuucapkan selamat datang di istanaku." balasnya.

     "Oh ya, Aku hampir saja lupa, akhirnya kalian berdua ditakdirkan untuk kembali bersama ya, walau dengan keadaan yang rak diharapkan. Hahaha ..."

     "Maksud Kau!? Bedua!? Siapa yang Kau maksud selain Aku!?" tanyaku bingung dengan keadaan setengah waras.

     "Astaga! Sepertinya Kau masih belum sadar. Lihat, lihatlah! Perempuan yang Kau sayangi, dua orang yang jatuh cinta bertemu kembali dengan waktu yang hampir habis!" balasnya sambil mencengkeram wajahku untuk memperlihatkan siapa sosok yang berada didepanku itu.

     "Riirrr, Ririn ..??" tanyaku terkejut.

     "Ciihhh ..!! Bajingan Kau ..!! Lepaskan dia ..!! Atau Kau akan mati ..!!" kataku mulai geram.

     Ntahlah, sudah berapa lama Aku berada di sini, lebih tepatnya sudah berapa lama Aku disekap. Terakhir yang bisa ku ingat ialah saat berada di lantai tiga, setelah terdengar suara penembakan seekor kijang yang membuat orang-orang itu turun, lalu Aku segera menuju anak tangga ke lantai empat dan setelah itu Aku pun tak ingat apapun lagi.

    Di sana hanya ada Aku, Pria besar itu dan Ririn yang diikat disebuah tiang dengan kondisi tak sadarkan diri.

     "Sekali lagi siapa Kau!?" bentakku kepadanya.

     "Hm ... Oke, baiklah jika Kau penasaran atas identitasku, walau kalian berdua setelah ini tak bernyawa lagi." balasnya.

     "Oh iya, sebelumnya Kau tentu sudah pernah mendengar Mafia Naga Merah Kepala Dua, bukan? Oh iya, atau biasa disebut dengan Mafia Bermata Satu ..."

     "Itulah kami, dan Aku adalah kaki tangan sang mulia untuk wilayah daerah ini, Chen Fai Jianheeng. Rasanya sampai sini Kau sudah paham, bukan?" tanyanya sambil duduk begitu santai dengan menghisap asap cerutu besarnya itu.

     "Mafia Bermata Satu!?" celetukku kaget mendengarnya.

     "Yup, benar sekali." balasnya lagi.

     Astaga, apa yang telah terjadi? Benar dugaanku selama ini. Pertama, orang yang disandera ialah Ririn dan kedua yang menyanderanya ialah pasti mereka, kelompok Mafia Bermata Satu itu. Dengan kondisi yang sama sekali tidak memihakku, dan rasa sakit dibagian kepala belakang ini, rasanya percuma saja Aku meronta-ronta tak jelas. Hampir saja lupa, apa kabarnya Dana dan Krinsa? Mengapa mereka tak ada disini? Berarti mereka masih berada di luar sana, semoga saja tak terjadi sesuatu kepada mereka.

     "Apa mau kalian!?" tanyaku mulai penasaran atas kejadian ini.

     "Wah, sabar, sabar. Tak perlu buru-buru begitu, bukan? Aku mengundang Kau karena kami masih ada urusan penting dengan Kau, tentu saja ini mengenai latar belakang yang telah dilakukan Ayahmu itu, Ibrahim Rifky Gunawan, polisi bodoh yang rela mati untuk mengejar target-targetnya."

     "Kurang ajar! Tutup mulut Kau, brengsekkk!" jawabku keras dengan begitu geramnya.

     "Hahaha ... Cihhh ..!! Dasar ayah-anak sama saja!" balasnya singkat.

     "Oke ... Langsung saja, dimana Ayah Kau menyimpan barang itu!?"

     "Barang!? Barang apa yang Kau maksud!?" tanyaku mulai bingung dengan pertanyaan-pertanyaan ini.

     "Ya, barang kami yang telah dicuri Ayahmu itu!" tanyanya sekali lagi dengan nada serius.

     Barang? Barang apa itu yang Dia maksud. Apakah Ayah pernah menyimpan barang begitu berharga milik kelompok mafia ini? Kenapa Aku tidak mengetahuinya?

     Kembali, Aku pun menjawab hal yang sama, namun kali ini bukannya penjelasan yang kuterima  darinya melainkan pukulan keras menusuk perutku. Lantas, Aku pun mengeluarkan muntah darah akibat pukulan keras itu.

     "Dimana barang itu!?" tanyanya lagi sambil mencengkeram wajahku begitu eratnya.

     "Aa-Aku ... Ti-Tidak Tahuuu ..." balasku dengan terbata-bata.

     Bbbuuuggghhhhh...!!

     Kali ini pukulan itu bukan lagi jatuh diperut, tapi mendarat tepat diwajah ini. Bukan hanya satu atau dua kali, melainkan tiga kali.

     "Jawab sekarang ...!! Atau Kau akan mati sia-sia di sini ..!!" gertaknya terlihat garang.

     Rasanya tak ada harapan lagi untuk kali ini. Wajahku hampir babak belur, apalagi dengan kondisi badan yang sudah remuk, Aku tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. "Apa yang Ayah lakukan dengan situasi seperti ini, Ayah? Apa?" tanyaku membatin.

     Melihat diriku yang tak menjawab apapun, akhirnya dia pun memutuskan untuk mengakhiri pertemuan ini dengan salam perpisahan. Sebuah pistol berwarna silver miliknya itu diarahkan tepat dikeningku, "Baiklah, jika itu jawabanmu anak muda." bisiknya terdengar amat menakutkan.

     Oh Tuhan, apakah ini akhir cerita perjuanganku selama ini!? Apakah ini akhir cerita dari kisah kematian Ayah dan Kak Ali!? Bagaimana sedihnya Ibu saat mengetahui Aku telah mati!? Bagaimana murkanya Kak Gina saat mendengar mafia ini yang telah membunuhku!? Bagaimana kabarnya Ririn!? Bagaimana dengan Dana dan Krisna!? Bagaimana dengan akhir dunia ini!? Oh Tuhan, kupasrahkan semuanya, yah semuanya ...

     Detik-detik kematianku terasa sangat lambat. Bayangan akan gambaran tentang masa lalu itu kembali berputar dalam ingatan. Kisah sebuah keluarga kecil dengan dikaruniai dua orang anak yang pemberani, lalu pergi meninggalkan tangisan seorang ibu yang akhirnya terpaksa sendiri. Gambaran wajah Ayah, gambaran wajah Ibu dan gambaran wajah Kak Ali, semuanya tersenyum melihatku. Rasanya indah sekali ...

     Ddduuaarrrrr ...!! Suara itupun akhirnya terdengar, amat kencang, kencang sekali ...




To be Continue...

"Kaalll ..!? Haikaalll ..!??" ia pun mencoba menolak kenyataan akan takdir yang baru saja terjadi.
Read More

Sunday, March 1, 2020

Garis Lintang #4 "Pertemuan Terakhir di Gedung Tua (Bagian I)"

10:34 AM 3




     Mengikuti jejak kaki
     Melangkah maju dan terus mengikuti
     Sekali lagi melangkah, menuju hal yang tak pasti
     Kadang meraba, seolah kegelapan masih unggul dengan cahaya api
     Tak jarang kaki ini letih, ingin rasanya berhenti
     Tak jarang juga air mata ini meronta, ingin jatuh keluar, lalu meninggalkan garis di pipi
     Meronta, dan terus meronta disini
     Kebodohan mengikuti cahaya bulan, layaknya gagak terbang tanpa kendali
     Keegoisan diri, terlalu percaya akan diri, lalu tercengang ketika kenyataan tak sesuai ekspektasi
     Aku, masih disini...
     Tolonglah... Sekali ini saja, temani...
     Aku... Takut... Takut sendiri...
     Jangan pergi lagi, Aku mohon denganmu, wahai pecahan hati
     Jangan pernah pergi, jangan pernah pergi...
     Tapi sama saja, percuma, Engkau tetap pergi...
     Aku...
     Terlalu egois...
     Aku... Yahhh, memang benar-benar egois...




     Melewati hari-hari memecahkan misteri, kadang meletihkan sekali. Setiap malam ditemani rembulan, selalu saja pikiran ini terus menebak-nebak. Setiap malam ditemani angin rindang, selalu saja air mata terus bercucuran di atas lantai keramik. Hampir sebulan lebih Aku terus mencari tahu siapa dalang pembunuhan Ayah dan kak Ali. Terakhir, Aku bersama kak Gina akhirnya sedikit membuka celah misteri itu. Keluarga mafia. Ya, semua kejadian ini pasti ada sangkut-pautnya dengan keluarga mafia tersebut. Mafia yang biasa disebut dengan Mafia Bermata Satu itu, dikatakan juga mereka adalah mafia terbesar yang pernah ada di negeri ini. Bisa dibilang juga bos diantara mafia-mafia yang ada.

     Jarum arloji ditanganku menunjukkan angka 07.25 pagi, sudah saatnya Aku berangkat ke kampus pagi ini. Semua perlengkapan telah siap. Ada materi sedikit panjang hari ini, setidaknya Aku harus fokus dengan perkulihan sekarang, jika tidak, bisa-bisa nilai ujianku akan anjlok jika mata kuliah ini terus ku anggap sepele. 

     Secangkir kopi yang telah tersedia di atas meja sedari tadi, segera ku seruput, mencium kening ibu, lalu pergi meninggalkan rumah dan orang tercinta di sini.

     "Selamat pagi duniaaaa ..!!" teriakku kencang seolah ingin memberitahu seisi bumi bahwa Aku telah lebih baik daripada sebelumnya.

     Memasuki area kampus, dengan suasana yang amat segar karena dirimbuni oleh rindangnya pepohoan menambah suasana hati ini semakin lebih baik. Melewati gedung-gedung fakultas lain. Tak jarang juga melirik sepasang kekasih bermadu kasih, ada yang sedang berjalan berdua, ada yang sedang duduk santai di bawah pepohonan, ada juga yang sedang sarapan di kantin bak di caffee elit ibu kota. "Hahaha ... Ada-ada saja manusia akhir zaman, selalu egois akan dunianya sendiri. Tak sadarkah mereka ada Aku yang kemarin sedang sedih dan kalian tak melihat kehadiranku?" ejekku dalam hati.

      Oh ya, sebelumnya Aku memiliki dua orang sahabat di kampus ini. Sahabat pertama ialah Muhammad Gilang Perdana, kami memanggilnya Dana. Sesuai namanya, dia adalah orang pertama tempat kami meminjam uang jika sedang dibutuhkan. Sahabat kedua bernama Karsa Dwi Krisna. Kami memanggilnya Krisna, atau Kris. Dia berasal dari Bali. Kadang disela-sela obrolan kami, selalu saja dia membangga-banggakan daerahnya. Seolah Bali adalah daerah terbaik sejagat raya, katanya ... Pernah pada saat kami kumpul bertiga, dia mengajak kami untuk berliburan ke sana, menyewa kapal, bermain sky, berswafoto bersama bule-bule cantik dan masih banyak lagi. Memang sih asik, tapi untuk masa semester sibuk begini, kami tak ada waktu sedikit saja untuk berlibur. 

     "Bagaimana broo? Udah mendingan nih batin, lu?" tanya Dana dengan gaya khas Jakartanya.

     "Alhamdulillah dah, Dan. Sudah semakin baik. Kamu tidak lihat ini, garis-garis senyum semringah di bibirku ini telah tergores kembali. Hehehe ..." balasku dengan candaan asik.

     "Syukur deh bro kalo gitu. Soalnye nih yak, akhir-akhir ini kita bakal disibukkan dengan mata kuliah si dosen killer itu, broo ..." balasnya sambil matanya melotot tepat ke arah mataku.

     "Hufttt ... Sialan banget sih ... Baru saja ingin sedikit tenang, sudah ada saja penghalang dan masalah di depan mata." keluhku kepadanya.

     "Sudah-sudah teman. Kalian ini kok itu aja sudah panik, sih ... Masih banyak hal yang perlu kita pikirkan sekarang. Oh ya ... Btw, bagaimana rencana kita untuk liburan ke Bali? Jadi, bukan?" tanya si Krisna, seolah ingin menengahi keadaan, malah membuat Aku dan Dana semaki mengeluh. 

     Waktu mata kuliah pertama dimulai. Tepat pukul 08.45 pagi, dosen killer itu pun masuk ke ruangan. Sudah terbiasa dosen tersebut datang terlambat. Padahal jadwal yang tertera di jadwal mata kuliah kampus dimulai tepat pukul delapan pagi, nah ini ... Sudah setengah jam lebih kami menunggu lama dan terbuang sia-sia.

     "Pagi anak-anak semuanya ..! Sudah siapkan mata kuliah pagi ini?!" Seru dosen killer tersebut.

     "Baik, sudah pak ..!!" teriak kami kompak, mengisi suara seisi ruangan ini.

     "Baiklah, silakan diperhatikan dan setelah ini kita akan ujian!" katanya tak tahu dosa, membuat jadwal ujian dadakan seenak jidak selebar jidat kepalanya. Kesaaalllll ...!!!!

***

     Sementara itu di lain tempat, dengan tokoh yang berbeda ...

     "Maaf pak, tapi apa benar ada kedekatan masalah antara Bapak Gunawan dengan para mafia tersebut?" tanya kak Gina kepada atasannya.

     Pagi ini, seperti biasa kak Gina selalu melebihkan perhatiannya kepada kasus kematian Bapak Ibrahim Rifky Gunawan, mantan atasannya dulu.

     "Saya juga tidak bisa menjawab dengan pasti, Ibu Gina." balasnya sambil menandatangani beberapa berkas yang bertumpukkan di atas mejanya.

     "Tapi, jika benar Bapak Gunawan menyimpan dokumen-dokumen itu di dalam tas koper kedinasannya. Saya ragu jika tidak ada kaitannya sama sekali. Buat apa dia menyimpan dokumen itu jika hal tersebut tidak ada hubungannya dengan pemecahan kasus almarhum." balasnya lagi sambil menatap serius kartu-kartu nama itu.

     "Apakah sebelumnya Bapak Gunawan ada kaitannya dengan kasus tertangkapnya salah satu anggota dewan beberapa bulan lalu, pak?" tanya kak Gina lagi.

     "Kasus itu ya? Saya tidak yakin betul. Munculnya kasus itu dan meninggalnya beliau memang hanya berjarak satu bulan saja. Sangat aneh jika dipirkan." jawab atasannya itu dengan nada serius.

     "Jika bapak berkenan mengizinkan saya untuk membuka kasus ini dan memecahkan misteri kematian almarhum Bapak Gunawan, saya siap, pak ..!!" tegas kak Gina sambil berharap kepada atasannya.

     "Baiklah ... Lakukanlah yang terbaik. Untuk mantan anggota kita dan untuk mantan atasanmu, Ibu Gina!" balasnya sambil memberikan perintah.

     "Siap, komandan ...!!" tegas kak Gina.

***

     Siangnya di kampus ...

     Aku, Dana dan Krisna segera menuju kantin. Sangat cocok jika menikmati ikan nila bakar dan segelas besar es teh manis buatan Bibik Yanti untuk siang yang melelahkan ini. 

     "Aseeemmm kalii sihhh dosen lu itu, Kal ..!!" keluh Dana memulai percakapan kami bertiga.

     "Enak aja kamu bilang dosen Aku ... Tuh, dosennya si Krisna. Sepertinya mereka berdua cocok jika diajak berdialog." kami berdua tertawa lepas tanpa memerdulikan wajah masam si Krisna yang kami ejek habis-habisan.

     "Oh ya bro, ngomong-ngomong lu tahu gak kabarnya si Ririn sekarang?" tanya Dana tiba-tiba.

     "Ehhh ..? Maksudnya?" tanyaku mulai penasaran.

     "Astagaaa Danaaa ..!! Kan kita sudah janji tidak membicarakan tentang ini jika kita sedang bertiga..?!" balas dadakan Krisna sambil memberantakkan rambut belakangnya.

     "Tu -- tunggu dulu ... Maksudnya tentang Ririn? Ada apa dengan Ririn, Dan?"

     "Hmm ... Tidak ada apa-apa kok, Kal ..." balas si Krisna sambil menekukkan seisi dahinya.

     "Sudahlah, Kris. Haikal wajib tahu tentang dia. Jika kita sembunyikan terlalu lama, dia akan lebih sakit pastinya." lempar Dana.

     "Sudah, sudah ..!! Sekarang kalian cepat ceritakan kepadaku, ada apa tentang Ririn?!" bentakku kepada mereka.
 
     Lalu, sedikit terbata-bata, mereka pun sedikit demi sedikit membuka mulut, menceritakan kembali tentang kehidupan Ririn, lebih tepatnya setelah kejadian putusnya Aku dengannya ...

***

     Di pinggir danau itu ...
     Di antara rintikan-rintakan hujan yang membasahi ...
     Lebih tepatnya beberapa menit setelah pengungkapan putusnya Aku dengannya ...

     "Maafkan Aku, Rin." ucapku pelan tak sanggup lagi untuk berkata banyak.

     Dan ... Dia terus berlari, menjauh dariku dan menjauh dari kehidupan lamaku ...

     Dia terus berlari tergopoh-gopoh. Ntahlah, tak ada lagi yang perlu diharapkan baginya.

     Di atas jembatan sungai itu, dia menangis sejadi-jadinya. Memukul-mukul tiang besi jembatan itu, menahan dinginnya hujan, dia terus menjerit. Hingga ...

     "Tak ada lagi yang Aku harapkan. Semuanya sudah selesai, maafkan Aku ..." 

     Setan apa yang telah merasukinya saat itu. Tak butuh waktu lama, ia seakan sudah yakin, melangkahkan kakinya maju kedepan, menaiki ke atas tiang-tiang besi jembatan itu. Setelah semuanya sudah siap, ya ... Dia ingin mengakhiri hidupnya.

     "Persetan dengan hujan, persetan dengan nada indahnya biola, persetan dengan semuanya. Kamu jahat, jahat sekali, Haikaallll ..!!!" teriaknya memekikkan seisi langit yang sedang mendung kala itu.

     Bruukkkkkk ...!!

     Ntahlah, kejadian itu sangat cepat sekali. Terlambat sedikit saja, mungkin hujan ini sudah berganti makna menjadi hujan penyesalan.

     "Cukup, mbak!! Cukuupppp!!" teriak pemuda itu.

     "Lepaskan saya massss!!! Lepaskaannnnn!!!!!" teriaknya keras, amat keras.

     "Seberapa kerasnya mbak, tidak akan pernah saya lepaskan. Cukup mbakkk!!!" pintanya sekali lagi.

     Dia pun lambat laun melemah, menangis dan suara tangisannya pun sedikit meredam. Hingga, Ririn pun pingsan, pingsan dengan kondisi meneteskan air mata penuh kelelahan.

     Besoknya ia pun terbangun. Dengan kondisi yang sudah di atas ranjang, tepat sebelah kiri adalah Ayahnya dan sebelah kanan Ibunya, ia pun sedikit bingung kenapa dia ada disini.

     "Alhamdulillah nak, kamu sudah sadar." sambut Ibunya sambil menggenggam jari jemariku.

     "Aku sedang dimana, bu?" tanyaku.

     "Kamu sedang berada di rumah sakit, nak. Pria ini yang telah menolongmu dan membawamu ke sini." jawab ibuku penuh haru.

     "Sudah berapa lama Aku di sini, bu?" tanyaku lagi.

     "Kemarin kamu dibawa ke sini." balas Ibu singkat.

     "Alhamdulillah jika mbak sudah membaik. Saya sangat bersyukur sore itu saya juga berada di jembatan. Jika tidak ... Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan mbak kedepannya." sambut pria itu dengan penuh senyuman.

     Singkat cerita, akhirnya Ririn pun keluar dari rumah sakit, hampir seminggu dirawat, sangat cukup untuk memulihkan diri dan pikirannya. Setelahnya, Ibu dan Ayahnya memutuskan untuk memindahkan anak gadisnya itu ke kampus lain, agar menghindari ingatan di masa lalunya. Ririn pun tak menolak usulan kedua orang tuanya. Dan, semenjak kejadian itu, dia pun pindah dan tak memberitahu kami kampus mana yang menjadi tujuannya itu.

***

     "Begitulah, broo ..." terang Dana kepadaku.

     Aku termenung. Terduduk dan terdiam. Betapa bodohnya Aku saat itu. Membuat sebuah keputusan tanpa berpikir panjang bagaimana kelanjutan kejadiannya. Aku memang sangat egois ...

     Tiba-tiba ...

     Triingggg ... Triinnggggg ...

     Sebuah notif pesan masuk muncul di ponsel pribadiku, lantas segera kubaca pesan itu.

     'Jika kamu berpikir Aku hanya menonton kalian merencanakan sesuatu. Jangan harap nyawanya akan tetap ada besok pagi !!' tulis pesan itu.




To be Continue...

"Serahkan saja, atau dia akan mati ..!! bentaknya, sambil mengarahkan pistolnya tepat di kepala orang itu.

"Lakukanlah, jika kau berani mati ..!!" balasku penuh geram.
Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot