Garis Lintang #3 "Mafia Bermata Satu" - Teman Pena

"MENJADI MANUSIA YANG BERGUNA ANTAR SESAMA DAN MATI DALAM KHUSNUL KHATIMAH"

Penulis itu

  • Muda
  • Kreatif
  • Berwawasan
  • Amazing!

Hot

Post Top Ad

Your Ad Spot

Tuesday, February 18, 2020

Garis Lintang #3 "Mafia Bermata Satu"




     Langit gelap mendung kelabu...
     Tawa-tawa ceria, kini hanya menjadi tabu...
     Tangis, sedih, sepi menjadi satu...
     Akankah hari ini hanya Aku saja yang terlalu halu..!?
     Tangan kiri merah membara, tangan kanan dingin membiru...
     Siapa, siapa lagi gerangan yang akan tersapu..!?
     Setelah dia Kakakku...
     Setelah dia Ayahku...
     Lalu, siapa lagi yang akan menjadi mayat tepat di kaki pria itu..!?
     Aku..!?
     Sudahlah, kita akhiri semuanya, kau dan Aku...
     Kebobrokan kan kubongkar, lalu kubakar menjadi abu...
     Pria bertopeng berdarah dingin dibalik wajah ramah yang terlihat semu...
     Gerombolan Mafia, ya manusia yang mengaku dirinya bermata satu...



     Di sore itu, Aku kembali tiba di rumah. Suasana rumah itu terasa sama saja, hening dan penuh kesedihan. Seperti biasa, kusempatkan melihat Ibu di kamar, ternyata ia sedang tertidur lelap di atas ranjangnya. Ya sudah, lantas tak tahan melihat Ibu yang selalu tidur dan berbaring di ranjang kamarnya, Aku pun segera pergi menuju kamar pribadiku. Di atas ranjang yang terbilang empuk itu, Aku pun memegang tas merah tua itu ...

     "Bismillah ... Semoga seluruh petunjuknya ada di dalam tas merah tua ini. Mudahkanlah ya Allah ...." pintaku berdoa kepada-Nya.

     Sedikit ragu, sedikit bimbang, Aku pun segera membuka reseleting tas merah tua itu. Hingga kutemukanlah buku catatan tua yang diceritakan oleh kak Gina tadi sore.

     Aa ... Aa ... Ayaahhhh ...." gemetar rasanya tuk membuka buku itu. Tanpa sadar, setetes dua tetes air mata bercucuran jatuh. Dan Aku pun menangis ...

     Usang sekali buku catatan tua itu. Sampul kulit berwarna cokelat rasanya kental sekali dengan jenis-jenis buku catatan tahun 90-an. Tak perlu berlama-lama, akhirnya buku itu kubuka secara perlahan. Yang benar saja, rasanya antara kertas-kertas itu sudah saling lengket satu sama lainnya. Warnanya pun sudah menguning, apalagi baunya, sudah bisa membayangkannya bukan, bagaimana tuanya buku catatan itu.

     Di halaman pertama, seperti biasa berisikan biodata si pemilik buku. Tertulis jelas disana dengan nama, Ibrahim Rifky G., hari Minggu, tanggal 25 Februari 1996. Tertulis juga Visi-Misi, moto dan sebagainya.

     Di halaman berikutnya rasanya tidak ada yang spesial dari tulisan-tulisan tersebut. Hanya berupa kegiatan-kegiatan yang akan dicapainya, rutinitas dan curhatan-curhatan biasa seorang pria yang baru saja menikah. Di antara halaman tersebut terselipkan foto Ayah dan Ibu saat pertama kali menikah dahulu. Terlihat jelas sang Ayah yang sedang mengenakan stelan jas polo hitam dengan gagahnya,  berdasi merah ditambah dengan gaya rambut khasnya tahun itu. Begitupun dengan Ibu yang mengenakan gaun putih dengan bawahan yang melebar layaknya saat bunga sedang bermekaran, sungguh terlihat anggun sekali. Dibalik lembaran foto itu pun juga tertulis tanggal "06-06-1996", sudah pasti tanggal tersebut merupakan tanggal perikahan mereka berdua.

     Hal yang kucari dari buku catatan tua itu sampai saat ini belum ditemukan. Tak ada tanda-tanda atau tulisan lama yang berkenaan dengan masa lalu Ayah dan pembunuh misterius tersebut.

     "Ayolahhh ..!! Harus berapa lembar lagi Aku cari ..!!" kesalku akhirnya terucapkan.

     "Kak, sepertinya percuma saja Saya mencari tahu tentang isi buku catatan tua ini. Sepertinya tidak ada petunjuk sama sekali ...." lantas kuketikkan jari-jemariku di atas tombol keyboard ponsel itu. Pesan singkat itupun langsung terkirim kepada kak Gina.

     "Apakah kamu sudah membaca semua isi catatannya?" balasnya cepat, tak lama dari pesan yang kukirimkan kepadanya.

     "Belum sih, tapi Aku tak yakin jika ada petunjuk disini ...." balasku lagi dengan sigap, tak perlu menunggu lama untuk mengetik dan segera kukirim kepada kak Gina.

     "Astagaaa ..!! Kirain Saya tadi kamu sudah membaca semua isi tulisan catatan tua itu ... Ya sudah, jangan putus asa gitu dong, kamu wajib selesaikan dan mencari tahu seluruh isi buku catatan tua itu. Nanti jika memang tidak ada, Saya akan bantu mencari informasi lainnya ...." balasnya lagi.

     "Baiklah, nanti Saya coba membaca semuanya ...." balasku terakhir, rasanya tak perlu berlama lagi segera kembali kubaca lanjutan isi buku catatan itu.

     "Sippp ..!!" balasnya untuk terakhir kali ini.

     Di pertengahan buku catatan itu sepertinya memasuki awal tahun 1997 yang bertuliskan, 'Selamat Datang Tahun 1997, Tahun Hiruk Pikuk'.

     Pada catatan tersebut menceritakan kericuhan apa saja yang sedang melanda. Dimana pada tahun 1997 merupakan kejadian krisis moneter terbesar yang pernah melanda Indonesia atau anjloknya mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Atas dasar tersebut, banyak sekali aksi-aksi demo yang dilakukan masyarakat, terutama mahasiswa maupun pelajar. Disana tertulis juga faktor-faktor apa saja krisis moneter itu bisa terjadi, salah satunya ialah buruknya perekonomian saat itu dan adanya permainan memonopoli perdagangan yang dilakukan oleh mafia-mafia besar di Indonesia.

     "Mafia?" pikirku membatin.

     Pada lembaran selanjutnya terlihat jelas robekan kertas pada bagian atas kanan kertas tersebut hingga pada ujung bawahnya dan hal serupa dengan lembaran-lembaran seterusnya. Masih di lembaran yang sama, di sana juga ada coretan-coretan kasar, terlihat seperti tulisan huruf mandarin. 

     "Kenapa tiba-tiba ada huruf mandarin tertulis di sini? Apakah dahulu Ayah pernah mempunyai kenalan dengan orang-orang China?" kataku sambil mengusap-usap rambut yang telah berantakan sedari tadi.

     "Astagaaaa ..!! Rasanyaaa kepala ini ingin pecah memikirkan ini semuaaa ..!!" teriakku kencang memekikkan seisi ruangan kamar itu.

     "Sudahlah ... Sepertinya Aku lebih baik menghubungi kak Gina saja, barangkali dia tahu tentang tulisan-tulisan huruf mandarin ini. Daripada pusing sendiri seperti ini ...."

     Kembali ku ambil ponselku,  lantas kedua jari jempulku segera melekuk indah di atas papan keyboard ponselku itu.

     "Kak Gina ..!! Bisakah kita bertemu besok sore!? Ini penting, sangat penting ..!!" kutuliskan pesan singkat itu kepadanya.

     Tak perlu menunggu waktu lama, ia pun membalas pesan singkat dariku itu.

     "Ada apa Haikal? Kamu sudah menemukan jawabannya? Lalu bagaimana hasilnya?" balasnya dengan beribu-ribu pertanyaan yang ia sodorkan kepadaku.

     "Saya pusing harus menjelaskannya dimulai darimana. Lebih baik besok kita bertemu saja, akan lebih mudah bagi saya menerangkannya nanti." balasku tanpa basa basi.

     "Baiklah, ya sudah besok sore sehabis asar kita berjumpa di cafe, tempat kita bertemu sore tadi. Bagaimana, setuju ..??" balasnya lagi.

     "Baiklah, cocok sekaliii ... Hehe ... Terimakasih kak Gina ..." balasku ditambah dengan emot senyum kepadanya.


***

     "Jadi, ada apa sebenarnya, Haikal?" tanya kak Gina langsung.

     "Ini ..!!" segera aku letakkan semua berkas yang ingin kutanyakan kepadanya.

     Sebelum pertemuan sore hari ini, malamnya Aku masih berkutat dengan berbagai file-file simpanan lama Ayah. Selain buku catatan tua itu, ada juga jam tangan klasik yang ntah apa mereknya dan yang paling penting adalah kartu nama yang tertulis jelas menggunakan huruf-huruf mandarin. Kartu nama itu bukan hanya satu, melainkan ada delapan lembar, dimana masing-masing lembar tertulis dengan nama-nama berbeda. Tepat sebelah kiri atas, atau bagian kepala kartu nama tersebut, tergambar dengan logo naga merah berkepala dua. 

     "Bagaimana, kak?" tanyaku kepadanya.

     "Gawat, jika memang begini, situasimu maupun keluargamu saat ini sedang sangat tidak baik." tegas ia menjawab pertanyaanku tersebut.

     "Kamu dan keluargamu akan diteror habis-habisan oleh mereka ..!!" tambahnya lagi.

     "Maksudnya? Saya tak mengerti sama sekali, kak ...." balasku sambil mengerutkan kedua alis dan dahi seraya memang tak tahu apa yang ia katakan.

     "Kamu sedang berurusan dengan mafia terbesar di Indonesia sekarang ...!!" bentaknya.

     "Sudah jelas, Ayahmu dibunuh sejak itu dikarenakan mereka ingin menghilangkan bukti berharganya yang ditemukan oleh Ayahmu ...."

     Degg ...!!

     Deggg ...!!

     Degggg ...!!! jantungku berdegup dengan kencangnya.

     Habis sudah riwayatku. Aku tak tahu harus berkata apa lagi setelah mendengarkan penjelasan kak Gina barusan. Sekarang, atau mungkin sejak kemarin, Aku telah berurusan dengan mafia terbesar di negeri ini. Mafia Naga Merah Kepala Dua, atau biasa dikenal dengan sebutan 'Mafia Bermata Satu'.

     "Haikal ..." panggilnya pelan, tangannya seolah menyuruh agar telingaku didekatkan kepadanya.

     "Ada hal yang ingin Saya sampaikan. Kamu masih hafal tidak dengan orang-orang yang berada di sekitar kita saat sore kemarin?"

     "Tidak ...." jawabku singkta serta bingung.

     "Astaga ... Tapi tak apa, mungkin kamu belum menyadarinya saja. Sebenarnya ada empat orang dari sore kemarin yang mengwasi kita berdua ...." balasnya sambil berbisik ditelingaku lebih dekat.

     "Saya ingat sekali wajah-wajah mereka. Empat orang ini ntah kenapa bertemu di tempat dan waktu secara bersamaan dengan kita. Saya amat yakin, kita sedang diawasi!"

     "Jika memang benar seperti itu, kenapa mereka tak langsung membunuh kita berdua dari kemarin sore? Bukankah kita yang menjadi target incaran mereka?" tanyaku benar-benar bingung.

     "Tidak semudah itu membunuh orang-orang secara frontal seperti ini. Kamu lihat, Cafe ini difasilitasi dengan banyak sekali kamera CCTV-nya, dan Saya tak yakin mereka berani melakukan hal tersebut di sini."

     "Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang, kak?" tanyaku lagi yang semakin takut akan kejadian ini.

     "Pura-pura tidak tahu!" balasnya singkat.

     "Hanya itu!?" aku kembali bertanya lebih penasaran.

     "Ya, hanya itu untuk sementara waktu!!"

     "Baiklah, tapi Aku tak yakin jika itu berhasil" balasku dengan penuh rasa khawatir.

     Pertemuan sore itu menyisakan sebuah misteri besar yang hampir terungkap. Mafia terbesar di Indonesia. Ya, kami sedang berurusan dengan mereka. Belum jelas apakah mereka yang menyusun dan pelaku pembunuhan kak Ali dan Ayah. Tapi untuk sementara waktu ini, Aku harus lebih banyak berhati-hati dengan lingkungan sekitar. Orang-orang dengan tingkah anehnya mengikuti bayang-bayang yang hampir hilang ditelan malam. Bayang-bayang itu adalah diriku dan keluargaku sendiri. Salah langkah saja, mungkin akan berakibat sangat fatal. Di Cafe itu, terdapat empat orang mencurigakan dengan gerak-gerik ingin mencari tahu, apa yang sedang Aku perbuat hari ini. Jika Aku boleh menebak, sudah tentu senapan laras pendek tersilang diantara tali celana mereka masing-masing.

     Sore itu, diakhir pertemuan kami, kak Gina mengambil beberapa berkas yang ingin dia telusuri sendiri. Sebagai bagian dari kesatuan Polisi Republik Indonesia, sudah barang tentu dia memiliki akses yang sangat luas untuk membantu mencari tahu siapa dalang pembenuhan Ayahku tersebut. Dan terakhir, Aku pun juga tetap berusaha mencari tahu seluruh arsip-arsip Ayah yang masih ada di lemari kamarnya, mungkin saja bisa menambah bukti bahwa benar adanya keterkaitan antara mafia-mafia tersebut dengan pembunuhan yang menewaskan kak Ali beserta Ayah beberapa minggu lalu.

     "Semoga saja ...." pintaku membatin.




To be Continue...
"Serahkan saja, atau dia akan mati ..!!" bentaknya, sambil mengarahkan pistolnya tepat di kepala orang itu.

1 comment:

Post Top Ad

Your Ad Spot