Mengikuti jejak kaki
Melangkah maju dan terus mengikuti
Sekali lagi melangkah, menuju hal yang tak pasti
Kadang meraba, seolah kegelapan masih unggul dengan cahaya api
Tak jarang kaki ini letih, ingin rasanya berhenti
Tak jarang juga air mata ini meronta, ingin jatuh keluar, lalu meninggalkan garis di pipi
Meronta, dan terus meronta disini
Kebodohan mengikuti cahaya bulan, layaknya gagak terbang tanpa kendali
Keegoisan diri, terlalu percaya akan diri, lalu tercengang ketika kenyataan tak sesuai ekspektasi
Aku, masih disini...
Tolonglah... Sekali ini saja, temani...
Aku... Takut... Takut sendiri...
Jangan pergi lagi, Aku mohon denganmu, wahai pecahan hati
Jangan pernah pergi, jangan pernah pergi...
Tapi sama saja, percuma, Engkau tetap pergi...
Aku...
Terlalu egois...
Aku... Yahhh, memang benar-benar egois...
Melewati hari-hari memecahkan misteri, kadang meletihkan sekali. Setiap malam ditemani rembulan, selalu saja pikiran ini terus menebak-nebak. Setiap malam ditemani angin rindang, selalu saja air mata terus bercucuran di atas lantai keramik. Hampir sebulan lebih Aku terus mencari tahu siapa dalang pembunuhan Ayah dan kak Ali. Terakhir, Aku bersama kak Gina akhirnya sedikit membuka celah misteri itu. Keluarga mafia. Ya, semua kejadian ini pasti ada sangkut-pautnya dengan keluarga mafia tersebut. Mafia yang biasa disebut dengan Mafia Bermata Satu itu, dikatakan juga mereka adalah mafia terbesar yang pernah ada di negeri ini. Bisa dibilang juga bos diantara mafia-mafia yang ada.
Jarum arloji ditanganku menunjukkan angka 07.25 pagi, sudah saatnya Aku berangkat ke kampus pagi ini. Semua perlengkapan telah siap. Ada materi sedikit panjang hari ini, setidaknya Aku harus fokus dengan perkulihan sekarang, jika tidak, bisa-bisa nilai ujianku akan anjlok jika mata kuliah ini terus ku anggap sepele.
Secangkir kopi yang telah tersedia di atas meja sedari tadi, segera ku seruput, mencium kening ibu, lalu pergi meninggalkan rumah dan orang tercinta di sini.
"Selamat pagi duniaaaa ..!!" teriakku kencang seolah ingin memberitahu seisi bumi bahwa Aku telah lebih baik daripada sebelumnya.
Memasuki area kampus, dengan suasana yang amat segar karena dirimbuni oleh rindangnya pepohoan menambah suasana hati ini semakin lebih baik. Melewati gedung-gedung fakultas lain. Tak jarang juga melirik sepasang kekasih bermadu kasih, ada yang sedang berjalan berdua, ada yang sedang duduk santai di bawah pepohonan, ada juga yang sedang sarapan di kantin bak di caffee elit ibu kota. "Hahaha ... Ada-ada saja manusia akhir zaman, selalu egois akan dunianya sendiri. Tak sadarkah mereka ada Aku yang kemarin sedang sedih dan kalian tak melihat kehadiranku?" ejekku dalam hati.
Oh ya, sebelumnya Aku memiliki dua orang sahabat di kampus ini. Sahabat pertama ialah Muhammad Gilang Perdana, kami memanggilnya Dana. Sesuai namanya, dia adalah orang pertama tempat kami meminjam uang jika sedang dibutuhkan. Sahabat kedua bernama Karsa Dwi Krisna. Kami memanggilnya Krisna, atau Kris. Dia berasal dari Bali. Kadang disela-sela obrolan kami, selalu saja dia membangga-banggakan daerahnya. Seolah Bali adalah daerah terbaik sejagat raya, katanya ... Pernah pada saat kami kumpul bertiga, dia mengajak kami untuk berliburan ke sana, menyewa kapal, bermain sky, berswafoto bersama bule-bule cantik dan masih banyak lagi. Memang sih asik, tapi untuk masa semester sibuk begini, kami tak ada waktu sedikit saja untuk berlibur.
"Bagaimana broo? Udah mendingan nih batin, lu?" tanya Dana dengan gaya khas Jakartanya.
"Alhamdulillah dah, Dan. Sudah semakin baik. Kamu tidak lihat ini, garis-garis senyum semringah di bibirku ini telah tergores kembali. Hehehe ..." balasku dengan candaan asik.
"Syukur deh bro kalo gitu. Soalnye nih yak, akhir-akhir ini kita bakal disibukkan dengan mata kuliah si dosen killer itu, broo ..." balasnya sambil matanya melotot tepat ke arah mataku.
"Hufttt ... Sialan banget sih ... Baru saja ingin sedikit tenang, sudah ada saja penghalang dan masalah di depan mata." keluhku kepadanya.
"Sudah-sudah teman. Kalian ini kok itu aja sudah panik, sih ... Masih banyak hal yang perlu kita pikirkan sekarang. Oh ya ... Btw, bagaimana rencana kita untuk liburan ke Bali? Jadi, bukan?" tanya si Krisna, seolah ingin menengahi keadaan, malah membuat Aku dan Dana semaki mengeluh.
Waktu mata kuliah pertama dimulai. Tepat pukul 08.45 pagi, dosen killer itu pun masuk ke ruangan. Sudah terbiasa dosen tersebut datang terlambat. Padahal jadwal yang tertera di jadwal mata kuliah kampus dimulai tepat pukul delapan pagi, nah ini ... Sudah setengah jam lebih kami menunggu lama dan terbuang sia-sia.
"Pagi anak-anak semuanya ..! Sudah siapkan mata kuliah pagi ini?!" Seru dosen killer tersebut.
"Baik, sudah pak ..!!" teriak kami kompak, mengisi suara seisi ruangan ini.
"Baiklah, silakan diperhatikan dan setelah ini kita akan ujian!" katanya tak tahu dosa, membuat jadwal ujian dadakan seenak jidak selebar jidat kepalanya. Kesaaalllll ...!!!!
***
Sementara itu di lain tempat, dengan tokoh yang berbeda ...
"Maaf pak, tapi apa benar ada kedekatan masalah antara Bapak Gunawan dengan para mafia tersebut?" tanya kak Gina kepada atasannya.
Pagi ini, seperti biasa kak Gina selalu melebihkan perhatiannya kepada kasus kematian Bapak Ibrahim Rifky Gunawan, mantan atasannya dulu.
"Saya juga tidak bisa menjawab dengan pasti, Ibu Gina." balasnya sambil menandatangani beberapa berkas yang bertumpukkan di atas mejanya.
"Tapi, jika benar Bapak Gunawan menyimpan dokumen-dokumen itu di dalam tas koper kedinasannya. Saya ragu jika tidak ada kaitannya sama sekali. Buat apa dia menyimpan dokumen itu jika hal tersebut tidak ada hubungannya dengan pemecahan kasus almarhum." balasnya lagi sambil menatap serius kartu-kartu nama itu.
"Apakah sebelumnya Bapak Gunawan ada kaitannya dengan kasus tertangkapnya salah satu anggota dewan beberapa bulan lalu, pak?" tanya kak Gina lagi.
"Kasus itu ya? Saya tidak yakin betul. Munculnya kasus itu dan meninggalnya beliau memang hanya berjarak satu bulan saja. Sangat aneh jika dipirkan." jawab atasannya itu dengan nada serius.
"Jika bapak berkenan mengizinkan saya untuk membuka kasus ini dan memecahkan misteri kematian almarhum Bapak Gunawan, saya siap, pak ..!!" tegas kak Gina sambil berharap kepada atasannya.
"Baiklah ... Lakukanlah yang terbaik. Untuk mantan anggota kita dan untuk mantan atasanmu, Ibu Gina!" balasnya sambil memberikan perintah.
"Siap, komandan ...!!" tegas kak Gina.
***
Siangnya di kampus ...
Aku, Dana dan Krisna segera menuju kantin. Sangat cocok jika menikmati ikan nila bakar dan segelas besar es teh manis buatan Bibik Yanti untuk siang yang melelahkan ini.
"Aseeemmm kalii sihhh dosen lu itu, Kal ..!!" keluh Dana memulai percakapan kami bertiga.
"Enak aja kamu bilang dosen Aku ... Tuh, dosennya si Krisna. Sepertinya mereka berdua cocok jika diajak berdialog." kami berdua tertawa lepas tanpa memerdulikan wajah masam si Krisna yang kami ejek habis-habisan.
"Oh ya bro, ngomong-ngomong lu tahu gak kabarnya si Ririn sekarang?" tanya Dana tiba-tiba.
"Ehhh ..? Maksudnya?" tanyaku mulai penasaran.
"Astagaaa Danaaa ..!! Kan kita sudah janji tidak membicarakan tentang ini jika kita sedang bertiga..?!" balas dadakan Krisna sambil memberantakkan rambut belakangnya.
"Tu -- tunggu dulu ... Maksudnya tentang Ririn? Ada apa dengan Ririn, Dan?"
"Hmm ... Tidak ada apa-apa kok, Kal ..." balas si Krisna sambil menekukkan seisi dahinya.
"Sudahlah, Kris. Haikal wajib tahu tentang dia. Jika kita sembunyikan terlalu lama, dia akan lebih sakit pastinya." lempar Dana.
"Sudah, sudah ..!! Sekarang kalian cepat ceritakan kepadaku, ada apa tentang Ririn?!" bentakku kepada mereka.
Lalu, sedikit terbata-bata, mereka pun sedikit demi sedikit membuka mulut, menceritakan kembali tentang kehidupan Ririn, lebih tepatnya setelah kejadian putusnya Aku dengannya ...
***
Di pinggir danau itu ...
Di antara rintikan-rintakan hujan yang membasahi ...
Lebih tepatnya beberapa menit setelah pengungkapan putusnya Aku dengannya ...
"Maafkan Aku, Rin." ucapku pelan tak sanggup lagi untuk berkata banyak.
Dan ... Dia terus berlari, menjauh dariku dan menjauh dari kehidupan lamaku ...
Dia terus berlari tergopoh-gopoh. Ntahlah, tak ada lagi yang perlu diharapkan baginya.
Di atas jembatan sungai itu, dia menangis sejadi-jadinya. Memukul-mukul tiang besi jembatan itu, menahan dinginnya hujan, dia terus menjerit. Hingga ...
"Tak ada lagi yang Aku harapkan. Semuanya sudah selesai, maafkan Aku ..."
Setan apa yang telah merasukinya saat itu. Tak butuh waktu lama, ia seakan sudah yakin, melangkahkan kakinya maju kedepan, menaiki ke atas tiang-tiang besi jembatan itu. Setelah semuanya sudah siap, ya ... Dia ingin mengakhiri hidupnya.
"Persetan dengan hujan, persetan dengan nada indahnya biola, persetan dengan semuanya. Kamu jahat, jahat sekali, Haikaallll ..!!!" teriaknya memekikkan seisi langit yang sedang mendung kala itu.
Bruukkkkkk ...!!
Ntahlah, kejadian itu sangat cepat sekali. Terlambat sedikit saja, mungkin hujan ini sudah berganti makna menjadi hujan penyesalan.
"Cukup, mbak!! Cukuupppp!!" teriak pemuda itu.
"Lepaskan saya massss!!! Lepaskaannnnn!!!!!" teriaknya keras, amat keras.
"Seberapa kerasnya mbak, tidak akan pernah saya lepaskan. Cukup mbakkk!!!" pintanya sekali lagi.
Dia pun lambat laun melemah, menangis dan suara tangisannya pun sedikit meredam. Hingga, Ririn pun pingsan, pingsan dengan kondisi meneteskan air mata penuh kelelahan.
Besoknya ia pun terbangun. Dengan kondisi yang sudah di atas ranjang, tepat sebelah kiri adalah Ayahnya dan sebelah kanan Ibunya, ia pun sedikit bingung kenapa dia ada disini.
"Alhamdulillah nak, kamu sudah sadar." sambut Ibunya sambil menggenggam jari jemariku.
"Aku sedang dimana, bu?" tanyaku.
"Kamu sedang berada di rumah sakit, nak. Pria ini yang telah menolongmu dan membawamu ke sini." jawab ibuku penuh haru.
"Sudah berapa lama Aku di sini, bu?" tanyaku lagi.
"Kemarin kamu dibawa ke sini." balas Ibu singkat.
"Alhamdulillah jika mbak sudah membaik. Saya sangat bersyukur sore itu saya juga berada di jembatan. Jika tidak ... Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan mbak kedepannya." sambut pria itu dengan penuh senyuman.
Singkat cerita, akhirnya Ririn pun keluar dari rumah sakit, hampir seminggu dirawat, sangat cukup untuk memulihkan diri dan pikirannya. Setelahnya, Ibu dan Ayahnya memutuskan untuk memindahkan anak gadisnya itu ke kampus lain, agar menghindari ingatan di masa lalunya. Ririn pun tak menolak usulan kedua orang tuanya. Dan, semenjak kejadian itu, dia pun pindah dan tak memberitahu kami kampus mana yang menjadi tujuannya itu.
***
"Begitulah, broo ..." terang Dana kepadaku.
Aku termenung. Terduduk dan terdiam. Betapa bodohnya Aku saat itu. Membuat sebuah keputusan tanpa berpikir panjang bagaimana kelanjutan kejadiannya. Aku memang sangat egois ...
Tiba-tiba ...
Triingggg ... Triinnggggg ...
Sebuah notif pesan masuk muncul di ponsel pribadiku, lantas segera kubaca pesan itu.
'Jika kamu berpikir Aku hanya menonton kalian merencanakan sesuatu. Jangan harap nyawanya akan tetap ada besok pagi !!' tulis pesan itu.
To be Continue...
"Serahkan saja, atau dia akan mati ..!! bentaknya, sambil mengarahkan pistolnya tepat di kepala orang itu.
"Lakukanlah, jika kau berani mati ..!!" balasku penuh geram.


mantappp
ReplyDeleteWuihhhh... Belom tidur nih bang? Mantappp.. makasih udah bacaa.. ^^
DeleteSemskin penasaran.....
ReplyDelete